Kamis, 10 Desember 2009

ARSITEKTUR MANDAILING JULU : SEJARAH, ADAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN ARSITEKTUR

Oleh
Cut Nuraini

PENDAHULUAN

Menurut beberapa literatur, Mandailing merupakan salah satu bagian dari daerah suku bangsa Batak yang ada di Sumatera Utara. Pembagian wilayah di Sumatera Utara yang menyebabkan pengelompokan daerah-daerah tersebut dalam satu kelompok suku bangsa Batak dilakukan oleh bangsa Belanda ketika pertama kali datang ke daerah ini. Pembagian wilayah tersebut terus berlangsung sampai saat ini sehingga masyarakat luas hanya mengetahui bahwa Mandailing merupakan bagian dari daerah suku bangsa Batak (Lubis, 1993 : 3).

Suku bangsa Batak mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai perbatasan daerah Nanggroe Aceh Darussalam di utara sampai ke perbatasan Riau dan Sumatera Barat di sebelah selatan. Selain itu, mereka juga mendiami tanah datar yang berada di antara daerah pegunungan dengan pantai timur dan barat Sumatera Utara. Suku bangsa ini secara lebih khusus terdiri dari sub-suku bangsa (1) Karo, yang mendiami dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian Dairi; (2) Simalungun, yang mendiami daerah induk Simalungun; (3) Pakpak, yang mendiami daerah induk Dairi; (4) Toba yang mendiami suatu daerah induk meliputi daerah tepian Danau Toba, pulau Samosir, dataran tinggi Toba, Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga, daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran; (5) Angkola yang mendiami daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian Sibolga dan Batang Toru serta bagian utara Padang Lawas; (6) Mandailing yang mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakantan dan bagian selatan Padang Lawas (Bangun, 1998 : IV, 94).

Menurut cerita-cerita suci orang Batak terutama dari masyarakat Batak Toba, semua sub suku-suku bangsa Batak tersebut mempunyai nenek moyang yang sama, yaitu Si Raja Batak. Namun demikian, masyarakat Mandailing menyatakan bahwa kelompok masyarakat mereka bukan ‘Batak’ seperti yang selama ini diketahui banyak orang. Sejak lama masyarakat Mandailing tidak mau disebut sebagai orang Batak. Mereka banyak mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Mandailing berbeda dengan orang Batak. Beberapa bukti berupa data dan penelitian tentang asal usul Mandailing semakin memperkuat kepercayaan tersebut dan melahirkan pernyataan baru yang mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Batak yang ada sekarang ini justru berasal dari Mandailing. Data yang dijadikan bukti ketidakbenaran informasi bahwa orang Mandailing termasuk orang Batak adalah (1) Tonggo-tonggo Siboru Deak Parujar dari orang Toba; (2) Pupuh Negarakertagama syair ke-13 oleh Mpu Prapanca; (3) Adat Dalihan Na Tolu; (4) Bahasa dan Aksara Mandailing; (5) Perkataan Gordang (Nasution, 1991 : 1-4).

Terlepas dari kenyataan mengenai benar atau tidaknya perbedaan pendapat tentang masyarakat Mandailing yang tidak mau disebut sebagai orang Batak, Mandailing menarik untuk diteliti. Selain letaknya paling selatan dan berbatasan langsung dengan wilayah lain, keberadaan arsitektur Mandailing yang meliputi bangunan adat Bagas Godang, Sopo Godang dan Sopo Eme serta Alaman Bolak Selangseutang sebagai tempat dilakukannya aktivitas adat juga menarik untuk diteliti. Keberadaan tiga bangunan adat dengan Alaman Bolak tersebut menjadi ciri khas desa-desa yang ada di Mandailing dan tidak dijumpai di daerah yang disebut daerah Batak lain di Sumatera Utara (sumber : hasil wawancara langsung dengan Z. Pangaduan Lubis, 2002).

Permukiman penduduk di Mandailing terdiri atas beberapa desa yang letaknya tersebar di wilayah Mandailing Julu dan Mandailing Godang. Desa-desa tersebut pada awalnya merupakan huta adat yang dalam perkembangan selanjutnya disebut desa. Pola hidup yang menetap sudah lama ada di Mandailing sejak bermukimnya orang-orang yang pertama datang ke daerah ini. Dengan adanya pola hidup menetap, maka terbentuklah kampung-kampung (perkampungan) yang disebut huta. Huta yang terbentuk dapat berubah menjadi sebuah huta adat melalui horja yang ditandai dengan diangkatnya seorang raja dan dibangunnya Bagas Godang sebagai tempat tinggal raja berdampingan dengan Sopo Godang sebagai balai sidang adat dan Sopo Eme sebagai lumbung desa. Huta adat di Mandailing selain memiliki Bagas Godang, Sopo Godang, Sopo Eme sebagai bangunan adat juga harus memiliki halaman tempat dilakukannya segala aktivitas adat yang terletak di depan Bagas Godang yaitu Alaman Bolak Selangseutang (Lubis, 1999 : VI, 82).

Kawasan permukiman masyarakat Mandailing pada sekarang ini dapat dicapai melalui jalan utama yang terdapat di tiap desa. Fenomena fisik yang menarik pada lokasi amatan, di sepanjang sisi jalan terdapat rumah-rumah yang orientasinya berbeda-beda. Walaupun berada di dekat jalan, rumah-rumah tersebut banyak yang tidak menghadap ke jalan tetapi saling berhadapan. Di beberapa desa, apabila jalan tersebut terus ditelusuri, maka di satu tempat akan ditemukan sebidang tanah yang cukup luas. Tanah yang relatif lebih luas dibandingkan dengan area lain di dalam desa disebut penduduknya Alaman Bolak yang artinya halaman yang luas.

Fenomena fisik lain yang menarik, halaman ini memiliki kondisi yang berbeda-beda di tiap desa. Ada halaman yang di sekitarnya terdapat bangunan adat seperti Bagas Godang, Sopo Godang serta Sopo Eme dan ada juga yang hanya memiliki salah satu bangunan saja. Bahkan ada juga desa yang hanya dijumpai Alaman Bolak saja tanpa bangunan adat di lingkungannya. Di beberapa desa, halaman tersebut sulit dikenali karena sebagian telah berubah menjadi jalan. Di sekitar halaman yang tidak terdapat bangunan adat, dijumpai adanya bangunan-bangunan modern. Bangunan-bangunan adat yang masih ada, dapat dengan mudah dikenali karena bentuk fisiknya berbeda dengan bangunan lain.

Hal yang menarik dari bangunan-bangunan adat tersebut adalah susunannya yang berbeda-beda terhadap Alaman Bolak yang ada di dekatnya. Selain bangunan-bangunan adat, di sekitar Alaman Bolak juga dijumpai adanya bangunan-bangunan lain. Bangunan-bangunan ini juga membentuk susunan tersendiri yang berbeda dengan bangunan adat yang ada di sekitar Alaman Bolak tersebut.
Namun demikian, semua fenomena unik yang terdapat di permukiman Mandailing Julu tersebut menunjukkan kecenderungan pada satu elemen lain yang pada akhirnya sangat penting dan menentukan bagaimana masyarakat Mandailing bermukim dan membentuk permukimannya. Elemen tersebut adalah sungai. Sungai di kawasan permukiman masyarakat Mandailing di kecamatan Pasar Kotanopan, Mandailing Natal memiliki peran yang sangat berarti, terutama sebagai elemen penentu dalam pembagian wilayah zona atau wilayah kampung secara makro dan perletakan Alaman Bolak dengan bangunan-bangunan di sekitarnya secara meso.

Sungai bagi masyarakat Mandailing mempunyai makna khusus yang berkaitan dengan konsepsi Banua, yaitu parginjang (dunia atas), partonga (dunia tengah) dan partoru (dunia bawah) Pembagian wilayah huta dan perletakan elemen-elemen huta harus sesuai dengan konsep kosmologi banua. Jae, julu dan tonga yang merupakan bagian dari zona Partonga, dolok yang merupakan bagian dari Partoru dan lombang yang merupakan bagian dari Parginjang selalu mengacu pada letak dan posisi sungai. Peran penting sungai juga dapat dilihat pada kedudukannya dalam konsep kosmologi banua yang selalu berada pada zona Banua Parginjang. Sungai yang berada di lombang hanya menunjukkan letaknya sedangkan makna sungai sesungguhnya merupakan elemen yang suci dan mulia, sehingga sesuatu yang nista yaitu makam di partoru harus dijauhkan dari sungai.

Fenomena lain yang menunjukan bahwa sungai memiliki makna khusus juga dapat diketahui dari sejarah awal terbentuknya huta oleh nenek moyang suku Mandailing. Mereka menyusuri sungai dan menemukan sebuah muara sebagai tempat cikal bakal huta pertama di Mandailing. Tahap perkembangan huta-huta selanjutnya selalu mengacu pada keberadaan dan letak sungai.

Sungai semakin memiliki arti penting ketika Islam masuk ke daerah ini, karena merupakan sumber air di Mandailing. Selain sungai, sumber air lain adalah pancuran-pancuran air yang berasal dari pegunungan di seberang sungai tersebut. Dalam pembahasan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa zona Banua Parginjang selalu ditandai dengan adanya sungai dan daerah pegunungan di seberang sungai tersebut. Sungai menjadi patokan atau tolok ukur yang digunakan oleh masyarakat Mandailing dalam menentukan zona Banua Parginjang yang di anggap suci.

Matapencarian penduduk yang sebagian besar petani juga menjadikan sungai sebagai sumber kehidupan yang mengairi sawah-sawah karena daerah persawahan di Mandailing berada di sekitar sungai-sungai tersebut. Selain itu, ada juga upacara yang dulu dilakukan berkaitan dengan kelahiran bayi. Bayi yang baru lahir akan dibawa ke sungai dan dilakukan upacara adat menyambut kelahiran bayi.
Menurut pengertian lobu yang pertama seperti telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, peran sungai juga menjadi penting. Lobu merupakan daerah paling strategis dan berada di dekat sungai. Persyaratan letak lobu yang berdekatan dengan sungai merupakan prioritas utama dalam memilih lahan baru perkampungan. Hal ini semakin memperjelas arti penting sungai sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Mandailing.

Sungai memiliki peran yang penting dalam pembagian wilayah kampung dan perletakan elemen-elemen penyusunnya sehingga terbentuk pola tata-bangunan yang bervariasi, terutama pada bangunan adat. Hal ini dapat dilihat pada perletakan Bagas Godang yang selalu berdekatan dengan sungai dan sekaligus merupakan zona Banua Parginjang yang dianggap suci.

Namun demikian hasil sementara ini masih menimbulkan keragu-raguan dan pertanyaan-pertanyaan baru yang berhubungan dengan fenomena-fenomena di atas. Beberapa pembahasan masih merupakan fakta, interpretasi dan analisis awal yang menunjukkan pentingnya sungai bagi masyarakat Mandailing. Untuk mengetahui makna sungai secara mendalam yang mungkin lebih dari sekedar hal-hal tersebut diatas tentu sangat dibutuhkan eksplorasi lebih mendalam terutama yang berkaitan dengan aktivitas dan interaksi manusia dengan sungai sebagai salah satu elemen penting di dalam huta.
Dalam mengamati perletakan sungai, Alaman Bolak dengan bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya sebagai sebuah kasus, perlu dilihat berbagai aspek serta jangkauan informasi yang mendukung penjelasan tentang nilai sungai dan Alaman Bolak.

SEJARAH PERKEMBANGAN MANDAILING
1. Asal mula nama Mandailing
Sejarah asal mula nama Mandailing telah banyak diperdebatkan sampai sekarang dengan berbagai versi yang berbeda-beda. Menurut Meuraxa (1974) seperti yang dikutip Lubis (1999 : III, 13), nama Mandailing berasal dari kata mande hilang (bahasa Minangkabau) yang artinya ‘ibu yang hilang’ dan kata Mundahilang berarti juga Munda yang mengungsi. Mulyana (1964) seperti yang dikutip Lubis (1999 : III, 13) mengatakan bahwa bangsa Munda menduduki India Utara. Akibat kedatangan dan desakan suku bangsa Aria sekitar tahun 1500 sebelum masehi, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan. Setelah pendudukan lembah sungai Gangga, bangsa Munda pindah keluar dari daerah India menuju Assam dan Asia Tenggara. Pada saat inilah diduga ada sebagian bangsa Munda yang masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera dan meneruskan perjalanannya sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan nama Mandailing.

Meuraxa juga mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari kata Mandalay yaitu nama sebuah kota besar di Burma. Menurut Tarigan dan Tambunan (1974) seperti yang dikutip Lubis (1999 : III, 13-14) di Burma utara terdapat sebuah kota kebudayaan atau pusat peradaban dan pemerintahan yang bernama Mandalay yang hampir sama dengan Mandailing. Perpindahan bangsa Munda dari Mandalay ke Sumatera dapat dihubungkan dengan terjadinya perpindahan bangsa-bangsa dari Asia Selatan ke wilayah Indonesia pada tahun 1000 sebelum Masehi.

Menurut Mangaraja Lelo Lubis seperti yang dikutip oleh Lubis (1999 : III, 14) nama Mandailing berasal dari kata Mandala Holing, yaitu nama kerajaan yang wilayahnya meliputi Portibi di Gunung Tua Padang Lawas hingga Piu Delhi (sekarang Pidoli) di Mandailing. Akibat serangan pasukan Majapahit, pusat kerajaan di Portibi Gunung Tua dipindahkan ke Pidoli. Peninggalannya yang masih dapat dilihat hingga saat ini berupa candi-candi purba yang dapat dilihat di Portibi. Selain itu terdapat juga reruntuhan candi-candi di Saba Biara Pidoli kecamatan Penyabungan dan Simangambat kecamatan Siabu yang dihancurkan pada saat terjadinya perang Paderi oleh pasukan Islam dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Candi-candi ini dinamakan dengan candi Biara atau Biaro yang berasal dari sebutan Vihara yaitu tempat peribadatan umat Hindu.

Keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa Gajah Mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Mpu Prapanca sebagai wilayah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365 M) ke beberapa wilayah di luar Jawa. Kakawin dalam tulisan tangan tersebut ditemukan di Pura Cakranegara Lombok yang kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1902 oleh sarjana Belanda Dr. J. Brandes dalam bahasa dan huruf aslinya pada buku dengan judul ‘Negara Kertagama, loftdicht van Prapanca op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Majapahit’ (Lubis, 1986 : II, 1).
Berabad-abad sebelum zaman Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat yang berbudaya tinggi berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke kerajaan Panai (Lubis,1999: I,1).

Mandailing juga telah diagungkan oleh masyarakat Toba Tua yang dituliskan pada Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar, yakni kesusasteraan klasik Toba tua yang terdiri dari sepuluh pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah kebudayaan masyarakat dan kerohanian dari Dalihan na Tolu. Di dalamnya disebutkan bahwa tanah Mandailing merupakan tempat tangga jalan ke atas (kayangan) dan menjadi tempat turun Dewa (Debata nan Tiga) Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan ke benua tengah (bumi). Tonggo-tonggo ini diciptakan setelah kelahiran Si Raja Batak (generasi ke-6 Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pada tahun 1305 M. Si Raja Batak diduga bertempat tinggal di Mandailing yang kemudian pindah ke Tanah Toba dan mengembangkan keturunannya. Selain itu terdapat juga sebutan Mandala di beberapa permukiman tua di Aek Marian Mandailing, yaitu permukiman nenek moyang marga Rangkuti dan Parinduri yakni Datu Janggut Marpayung Aji bernama Mandala Sena.

Masyarakat Mandailing pada masa sekarang ini sering menyebut tentang Surat Tumbaga Holing yang maknanya masih samar karena keterangan mengenai keberadaan surat ini belum diketahui dengan pasti. Sebagian besar orang-orang tua di Mandailing mengatakan bahwa surat ini adalah surat yang dibuat oleh seorang raja di Mandailing dengan Belanda berdasarkan Surat Tumbaga Holing yang pernah dibuat sebelumnya pada masa kerajaan Mandala Holing. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian tersebut berlangsung pada abad ke-19 yang terasa sangat baru untuk sesuatu kejadian yang penting. Pendapat orang-orang tua lainnya menafsirkan Surat Tumbaga Holing tersebut sebagai surat emas dari bangsa Keling, yang artinya surat-surat atau ayat-ayat yang mengajarkan kebaikan kepada masyarakat di daerah tersebut pada masa lampau sesuai dengan ajaran agama Hindu yang dibawa mereka.

Ketika orang-orang suku bangsa Melayu mulai memasuki wilayah ini, tidak ditemukan lagi adanya orang-orang Mandala (koling), maksudnya orang-orang keling yang sudah pindah ke tempat lain, sehingga orang-orang suku bangsa Melayu tersebut menyebutnya Mandala Hilang yang lama kelamaan berubah menjadi Mandailing.

2. Asal usul marga di Mandailing
Suku bangsa Mandailing terkelompok dalam beberapa marga atau clan. Marga-marga tersebut antara lain adalah Lubis, Nasution, Harahap, Hutasuhut, Batubara, Matondang, Rangkuti, Perinduri, Pulungan dan Daulay. Asal usul marga-marga yang menempati tanah Mandailing diawali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis dan Pulungan adalah satu keturunan. Demikian juga halnya dengan mereka yang bermarga Batubara, Daulay dan Matondang. Marga Parinduri dan Rangkuti juga dianggap satu keturunan (Lubis, 1986 : 11).

Marga-marga mayoritas yang terdapat di Mandailing adalah marga Lubis dan Nasution sekaligus juga marga yang paling besar jumlah warganya. Pada masa lalu, kawasan Mandailing Godang yang meliputi Penyabungan dan sekitarnya dikuasai oleh raja-raja bermarga Nasution sedangkan kawasan Mandailing Julu yang meliputi Kotanopan dan sekitarnya dikuasai oleh raja-raja bermarga Lubis.

3. Sejarah Huta Adat dan Alaman Bolak
Pola hidup menetap sudah lama ada di Mandailing sejak bermukimnya nenek moyang mereka yang pertama di daerah ini. Pada awalnya, masyarakat Mandailing hidup dan bermukim di daerah pegunungan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ketika itu mereka belum memiliki suatu agama tertentu dan percaya pada keberadaan Sipelebegu yaitu makhluk gaib dan roh-roh nenek moyang. Pada perkembangan selajutnya, penduduk mulai turun gunung membuka perkampungan baru dan hidup menetap. Kampung asal di daerah pegunungan yang ditinggalkan biasanya hanya dijadikan perladangan dan tetap dimanfaatkan ketika mereka menetap di perkampungan yang baru (sumber : wawancara langsung dengan beberapa informan kunci, 2002)
Pengertian kampung di Tapanuli Selatan dibedakan atas beberapa jenis atau tingkatan yang juga dapat menunjukkan status kampung tersebut melalui acara adat tertentu (Depdikbud, 1983 : II, 551) yaitu :
1.Huta, suatu kampung yang sudah diadatkan.
2.Bona bulu, huta yang sudah memiliki pecahan atau anak kampung dan menjadi tempat berdirinya kediaman raja.
3.Pagaran (anak ni huta), pecahan suatu kampung dan status hukumnya sama dengan kampung induknya. Pagaran dapat berubah statusnya menjadi huta melalui adat.
4. Lobu, perkampungan lama yang tidak pernah mendapat status sebagai huta
5. Sosor, suatu perkampungan yang baru didirikan dan belum diadatkan.
Namun demikian, informasi dan wawancara dengan beberapa informan kunci menyebutkan bahwa tingkatan huta di Mandailing mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar berbeda dengan penjelasan di atas, yaitu :
1.Banjar, yaitu kampung kecil yang baru dibuka dan masih terdiri atas 2 sampai 5 rumah.
2.Pagaran, yaitu kampung yang terdiri atas beberapa banjar di dalamnya.
3.Huta atau huta adat, yaitu kampung yang telah memiliki kelengkapan adat dan menjadi tempat tinggal raja. Huta memiliki seorang raja dan perangkat-perangkatnya.
Ada beberapa motivasi untuk dapat berdirinya suatu kampung di Mandailing Julu (1983 : II, 47), yaitu (1) seseorang yang merupakan pendatang mula-mula ke suatu tempat dan berniat membuka kampung, seperti Huta Sianjur Mula-mula di Samosir yang merupakan perkampungan Batak yang pertama; (2) Tanah pertanian yang makin sempit, sehingga terjadi penyebaran satu keluarga atau marga untuk mencari tanah pertanian baru; (3) mencari tanah yang lebih subur; (4) karena ada bala atau bencana alam; (5) karena penyakit sampar yang dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suatu kampung atau desa kurang bertuah; (6) peperangan, sehingga suatu kampung diduduki oleh pihak musuh atau dimusnahkan; (7) lalu lintas, sehingga orang lebih cenderung untuk berdiam di tepi jalan besar dan (8) keingingan menjadi raja.

Dalam proses berdirinya sebuah perkampungan di Mandailing selalu diawali dengan dibangunnya rumah-rumah penduduk atau bagas biasa oleh sekelompok marga yang datang dari daerah-daerah pegunungan. Kelompok rumah ini biasanya hanya terdiri atas tiga atau lima rumah yang disebut dengan pagaran. Pada perkembangan selanjutnya, sebuah pagaran dapat terus berkembang membentuk banjar. Selanjutnya, banjar dapat berkembang menjadi sebuah huta.

Untuk menjadi sebuah huta adat maka sebuah pagaran, banjar ataupun huta tersebut harus memiliki kelengkapan adat dan melakukan atau melaksananakan horja atau kegiatan upacara adat sebagai tanda bahwa huta tersebut telah menjadi sebuah huta adat. Dengan demikian, proses untuk menjadi huta adat tidak harus selalu melalui tahapan-tahapan seperti tersebut di atas. Sebuah pagaran atau banjar dapat langsung menjadi sebuah huta adat jika telah memenuhi persyaratan utama sebagai huta adat, yaitu adanya kelengkapan adat dan kemampuan melaksanakan horja. Persyaratan lain adalah kampung tersebut harus mempunyai anak kampung sebagai perluasan wilayahnya dari kampung asal yang akan menjadi huta adat (sumber : wawancara langsung dengan beberapa informan kunci, 2002).

Kelengkapan adat sebuah huta terdiri atas Dalihan na Tolu (yang terdiri atas kahanggi, mora dan anak boru), Namora Natoras (yang terdiri atas Namora, Natoras, Suhu dan Bayo-bayo nagodang), Raja dan perangkat-perangkat lain seperti Anggi ni raja, Imbang raja, Lelo raja, Gading ni raja, Si Baso ni Raja, dan Goruk-goruk hapinis. Raja di huta ini merupakan seorang raja bergelar raja Pamusuk.
Pada saat peresmian suatu huta yang menjadi tempat tinggal raja, menurut adatnya diadakan horja bolon dengan menyembelih na bontar dan na lomlom. Lalu diadakan manyuan bulu oleh pendiri kampung, dan istri pendiri kampung manyuan pandan. Setelah pendiri kampung mangalangsei, barulah ia berhak memakai status raja Pamusuk untuk laki-laki dan namora untuk perempuan (Depdikbud, 1983 : 48).

Setelah diangkat seorang raja dan dilaksanakan horja di huta tersebut, maka mulai dicari lokasi yang memiliki kondisi tanah relatif datar sebagai tempat didirikannya Bagas Godang untuk tempat tinggal raja berikut dengan Alaman Bolak yang harus ada didepannya. Syarat mutlak bagi berdirinya Bagas Godang adalah adanya area yang cukup luas untuk Alaman Bolak, sehingga ketika lokasi yang dimaksud ditemukan, maka yang pertama ditetapkan adalah letak Alaman Bolak. Keberadaan dan perletakan Alaman Bolak menjadi sangat penting karena semua kegiatan adat yang dilakukan semuanya berpusat di Alaman Bolak dan keberadaannya juga sebagai bukti bahwa huta tersebut telah diadatkan dan memiliki seorang raja. Penentuan letak ini dilakukan oleh si Baso ni raja berdasarkan pada aturan atau kepercayaan mereka tentang konsepsi banua dan diputuskan secara musyawarah bersama antara raja, unsur-unsur Dalihan na Tolu dan Namora-natoras. Pembukaan lahan baru tersebut sebagai Alaman Bolak dan pembangunan Bagas Godang dilakukan secara bergotong royong.

Alaman Bolak Selangseutang merupakan daerah yang mempunyai makna khusus bagi masyarakat Mandailing. Masyarakat Mandailing dalam membuka sebuah kampung baru selalu mencari tempat yang disebut tapian na so marlinta, jalangan na so marongit artinya tepian atau daerah yang tidak didiami oleh lintah (hewan melata), padang rumput yang tidak didiami nyamuk. Jelasnya tempat tersebut adalah tempat yang strategis, nyaman, sehat dan tanpa gangguan penyakit. Ketika kampung semakin berkembang dan pendiri kampung melaksanakan adat untuk mendapatkan status kampung adat, maka didirikanlah bangunan Bagas Godang, Sopo Godang dan Sopo Eme di area tersendiri dan mempunyai halaman yang cukup luas yaitu Alaman Bolak Selangseutang tersebut. Halaman ini menandakan bahwa bangunan yang ada didalamnya adalah rumah raja dan setiap orang yang memasukinya harus menghormati raja sebagai orang yang mempunyai kuasa atas halaman tersebut. Dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari, apabila terjadi perkelahian antara penduduk atau pendatang maka seseorang yang sudah memasuki halaman ini tidak boleh diganggu walaupun orang yang memasuki halaman itu adalah orang yang bersalah (sumber : wawancara langsung dengan beberapa informan kunci, 2002).

Setiap pendatang yang berniat menetap diperbolehkan untuk membuka perkampungan baru di tanah Mandailing, tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu (Depdikdub, 1983 : II, 48). Orang pendatang yang dimaksud adalah orang yang bukan anggota atau bukan keturunan anggota atau warga di wilayah Mandailing. Adapun gambaran tentang proses berdirinya sebuah perkampung untuk orang-orang pendatang dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu (1) mangido tano, (2) marjamita hona Ia sahorbo, (3) sada horbo mambaen goar ni huta, (4) sada horbo pajonjong adat, (5) sada horbo pamuli bayo-bayo, padomu-domu tondi ni raja dan (6) mangalangsei.
Selanjutnya kampung yang baru dibuka tersebut juga dapat menjadi huta adat melalui persyaratan-persyaratan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk mendirikan rumah rakyat biasa, terdapat beberapa tatacara yang harus dilaksanakan dengan adat tertentu (1983 : II, 52) yaitu (1) mangalap tiang jabu bona, (2) mangalap parhayu, (3) mangalap hayu bungkulan, (4) mamayakkon tu panca-panca, (5) ipispis dohot santan dan itak gurgur, (6) mangan santan, (7) marbongot bagas. Jika tidak ada pesta disebut Manyuruk.

Untuk mendirikan atau membangun rumah raja yang disebut Bagas Godang harus melalui beberapa tahapan tertentu. Adapun tata cara adat dalam mendirikan rumah raja (1983 : II, 53) adalah sebagai berikut (1) martahi, (2) marlandasan, (3) bungkulan, (4) mamasuhi, (5) mangkuling godang. Pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan masuknya Islam ke daerah Tapanuli Selatan yang berbatasan langsung dengan Sumatera Barat maka upacara pendirian bagas godang telah berubah, tetapi tetap harus dilaksanakan dengan penambahan seruan azan pada saat pendirian tiang utama jabu bona dan pada tiang tidak lagi ikatkan kain adat (ulos) tapi diganti dengan kain berwarna merah dan putih yang bertuliskan kalimat syahadat Laaila Hailalla.

Sudah menjadi tradisi di daerah Mandailing bahwa sebuah huta dapat memperluas daerah kekuasaannya dengan cara membuka kampung-kampung baru dan menempatkan keturunan atau kelompok marganya di kampung-kampung baru tersebut. Sejarah terbentuknya huta-huta di Mandailing juga tidak terlepas dari sejarah nenek moyang marga Lubis yang merupakan mayoritas marga di Mandailing Julu. Semua raja Panusunan di Mandailing Julu berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis yang merupakan keturunan dari Namora Pande Bosi, si Langkitang dan Si Baitang.

Huta yang terbentuk dapat terus berkembang. Jika huta telah cukup padat dan anak-anak raja juga berkeinginan untuk menjadi raja maka raja Pamusuk di desa asal ini akan memerintahkan dan mengirimkan sekelompok orang yang dilengkapi dengan Dalihan na Tolu dan namora-natoras untuk membuka kampung baru ditempat lain yang letaknya di luar huta asal. Di daerah-daerah baru ini, yang berhak menjadi raja biasanya adalah anak-anak raja dari desa asal sekaligus juga sebagai orang yang pertama kali membuka kampung tersebut. Dengan terbentuknya huta-huta baru maka raja Pamusuk yang ada di desa asal tersebut gelarnya berubah menjadi raja Panusunan dan anak-anak raja di huta yang terbentuk dapat menjadi raja Pamusuk melalui adat. Raja Pamusuk berada di bawah pengawasan raja Panusunan. Desa-desa yang terdapat di kecamatan Kotanopan ini tidak seluruhnya merupakan huta adat, karena beberapa desa tidak memiliki Bagas Godang, Sopo Godang dan Alaman Bolak sebagai ciri utama sebuah huta adat.


SISTEM-SISTEM DALAM TANANAN ADAT MANDAILING
1. Sistem Adat dan Sistem Sosial
Pelaksanaan adat dan hukum adat dalam kehidupan masyarakat Mandailing, menurut Lubis (1999 : IV, 29) dilakukan berdasarkan struktur dan sistem hukum adat yang disebut dengan Dalihan na Tolu. Hal ini mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang tergabung dalam satu tatanan struktur yang terdiri atas kahanggi, mora dan anak boru. Ketiga kelompok ini mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam struktur hukum adat Mandailing. Seseorang dapat dikategorikan ke dalam kelompok ini berdasarkan situasi, kondisi dan tempat. Setiap orang secara pribadi dapat memiliki 3 kategori tersebut dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat Mandailing. Seseorang dapat menjadi kahanggi pada suatu saat dan dapat menjadi anak boru atau mora di saat yang lain. Kedudukan seseorang dalam masyarakat Mandailing sangat fleksibel dalam struktur adat sehingga dapat menyesuaikan diri apabila dibutuhkan.

a.Kahanggi adalah kelompok keluarga semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang sama satu dengan lainnya di dalam sebuah huta atau kampung dan merupakan bona bulu, yaitu pendiri kampung. Kahanggi ini terdiri atas 3 bagian besar yang biasanya disebut namora-mora huta, yaitu suhut, hombar suhut dan kahanggi pareban.
b.Anak boru adalah kelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil istri dari kelompok suhut. Anak boru juga berarti keluarga penerima anak perempuan.
c.Mora merupakan kelompok keluarga pemberi anak perempuan.

Dalam upacara-upacara adat, Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang telah diatur dalam hukum adat. Seseorang yang na pojonjong adat, artinya yang melaksanakan adat maka ia berkedudukan sebagai suhut. Suhut dengan dukungan kahanggi-nya harus melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dengan memegang prinsip Songon siala sampagul, rap tu ginjang rap to toru. Madabu rap margulu. Sabara sabustak, salumpat saindage, sigaton lai-lai, yang artinya mereka harus merasa senasib sepenanggungan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Suhut dan kahanggi tidak dapat dipisahkan dan perselisihan paham harus mampu mempererat hubungan keduanya.

Jika hubungan antara suhut dan kahanggi sifatnya sebagai satu kesatuan maka hubungan antara suhut dengan anak boru lebih menonjolkan sifat saling membantu. Kedudukan anak boru sebagai pangidoan gogo, yaitu tempat meminta tenaga merupakan tenaga pelaksana sebagai sumber kekuatan baik moril maupun materil.

Mora merupakan pihak yang harus dihormati yang disebut dengan mata ni ni ari so gakgahon yang artinya matahari yang tidak boleh ditentang. Suhut harus somba marmora, maksudnya mora dianggap sebagai sumber berkat, tua dan pasu-pasu. Sistem sosial berdasarkan Dalihan Na Tolu ini mengandung nilai bahwa satu sama lain mempunyai kedudukan dan fungsi yang berbeda-beda tetapi saling menghormati, karena ketiga kelompok ini yang bertanggung jawab terhadap segala aktivitas adat di huta.
Fungsi Dalihan na Tolu sangat berkaitan dengan suatu horja atau pekerjaan yang berhubungan dengan urusan adat agar didapatkan kata sepakat. Hasil kata sepakat disebut dengan Domu ni tahi dan dalam hal ini seseorang yang akan mengadakan horja harus menjelaskan apa yang menjadi hajatnya. Hal ini mencirikan demokrasi yang tinggi di dalam masyarakat Mandailing, karena setiap anggota keluarga mempunyai hak berbicara tanpa kecuali.

Pengertian horja menurut Mara Tigor Harahap seperti yang dikutip oleh Lubis (1999 : IV, 36) lebih luas dari pekerjaan walaupun pengertian yang sebenarnya adalah kerja. Ada 3 jenis horja, yaitu (1) horja siriaon, yang terdiri atas 3 upacara meliputi tubuan anak, marbongkot bagas na imbaru dan haroan boru; (2) horja siluluton, dan (3) horja siulaon..
Musyawarah atau marpokat terdiri atas 4 tingkatan, yaitu (1) tahi ulu ni tot (pokat ulu ni tot); (2) tahi sabagas (pokat sabagas parsiduduan); (3) tahi sahuta (pokat sahuta) dan (4) tahi godang (pokat godang) atau pokat pantar bolak paradatan. Dalam marpokat adat atau musyawarah adat harus memenuhi syarat (1) manyurda burangir; (2) dihadiri oleh kaganggi, mora dan anak boru dan (3) semua peserta musyawarah harus menerima pendapat secara musyawarah mufakat, tidak harus mematuhi kehendak seseorang (marraja di ulu totna).

2. Sistem Pemerintahan
Sebelum datangnya pemerintahan kolonial Belanda, Tapanuli selatan terdiri atas beberapal luat atau banua yaitu satu kesatuan dalam hukum adat, pemerintahan, teritorial dan genealogis. Antara satu banua dengan banua lainnya kedudukannya sejajar. Susunan tersebut (Depdikbud, 1989 : 58) adalah :
a.Luat atau banua yaitu satu wilayah yang diperintah oleh seorang raja Panusun Bulung dengan derajat atau tingkat setara dengan Sisuan Haruaya. Luat dapat berkembang menjadi Kuria (semacam propinsi);
b.Bona Bulu, yaitu bagian dari luat yang disebut juga dengan huta dan diperintah oleh Sisuluan Bulu. Satu huta harus mempunyai pagaran (anak atau pecahan kampung);
c.Ripe yaitu bagian dari bona bulu atau huta yang berpenduduk sangat banyak yang diperintah oleh seorang Kepala Ripe.

Pengertian raja bagi masyarakat Mandailing bukanlah seorang feodal, tetapi adalah seorang yang dituakan diantara keluarga pendiri kampung atau yang utama diantara yang sama. Raja merupakan ‘sesepuh yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting’. Raja tidak memerintah secara otokrat, tetapi secara demokrat sesuai dengan hasil mufakat antar pengetua kampung yang disebut Na Mora Natoras.

Raja juga bertindak sebagai pemegang tampuk adat dalam satu banua dengan dengan sebutan raja Panusunan. Selain sebagai penguasa raja juga berfungsi sebagai pengayom rakyatnya, adil dan pengasih yang disebut dengan Haruaya Porsilaungan Banir Paronding-ondingan.
Semua raja Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Dalam peradatan, mereka masih sangat menghormati tempat asalnya, tetapi raja Panusunan yang menurunkannya bukan berarti memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari raja Panusunan yang lahir sesudahnya. Raja-raja Panusunan bertemu dalam peradatan sebagai raja-raja Mardomu Daro.

Semua raja Panusunan di Mandailing Julu berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis yang merupakan keturunan dari Namora Pande Bosi dan menghasilkan enam raja Panusunan, yaitu Lubis Singengu yang diturunkan oleh Langkitang menjadi raja Panusunan di daerah (1) Singengu, (2) Sayurmaincat, (3) Tambangan dan Lubis Singasoro yang diturunkan oleh Baitang menjadi raja Panusunan di daerah (4) Manambin, (5) Tamiang dan (6) Pakantan.

Semua raja-raja Panusunan mempunyai sejumlah raja Pamusuk di wilayahnya masing-masing. Apabila seorang raja Pamusuk di wilayah raja Panusunan mengadakan horja, maka raja Panusunan harus hadir. Raja-raja Panusunan dari daerah lainnya hanya bertindak sebagai saksi yang memberi saran, pertimbangan dan doa restu. Apabila raja Panusunan mengadakan horja maka yang bertindak sebagai ketua adalah raja Panusunan dari desa asal atau desa induk, seperti misalnya jika raja Panusunan yang ada di Sayurmaincat mengadakan horja, maka raja Panusunan yang ada di Singengu yang bertindak sebagai ketua atau raja Panusunan yang memberikan keputusan. Hal ini dilaksanakan sebagai penghormatan kepada daerah asal keturunan-keturunan raja-raja tersebut sekaligus juga penghormatan kepada yang lebih tua.

Selain raja yang duduk dalam suatu peradatan, yang juga turut membantu Dalihan Na Tolu adalah Namora-Natoras dari huta tersebut. Namora-Natoras terdiri atas Namora, Natoras, Suhu dan Bayo-bayo na Godang. Secara terperinci menurut tugasnya, mereka dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu Anggi ni raja, Imbang raja, Suhu ni huta, Lelo raja, Gading ni raja, Si baso ni raja, Bayo-bayo na godang dan Goruk-goruk hapinis.

Ketiga unsur Dalihan Na Tolu, Raja dan Namora-Natoras memegang peranan penting dalam suatu peradatan untuk mengambil keputusan yang disebut Domu Ni Tahi. Namun demikian tidak semua unsur ini harus hadir dalam parpokatan untuk melaksanakan horja, karena keikutsertaan mereka sangat tergantung pada jenis horja yang akan dilaksanakan. Besar kecilnya horja juga dibedakan berdasarkan jenis hewan yang akan disuguhkan pada horja tersebut. Horja terbesar adalah apabila hewan yang dipotong kerbau dan hanya pada horja ini semua unsur kelengkapan adat huta hadir dan diundang, baik yang ada di huta tersebut maupun yang ada di luar huta seperti raja-raja Torbing Balok, raja-raja dari desa Na walu dan raja Panusunan.

3. Sistem Kepercayaan
Sebelum Islam masuk dan menjadi agama mayoritas di daerah ini, masyarakat Mandailing memiliki kepercayaan bahwa alam ini terbagi atas tiga bagian atau disebut dengan Banua, yaitu :
a.Banua Parginjang (dunia atas), yaitu dunia tempat sang pencipta, penguasa manusia yang disebut Datu Natumompa Tano Nagumorga Langit yang dipercaya sebagai pencipta dan penguasa langit dan bumi. Bumi ini dilambangkan dengan warna putih;
b.Banua Tonga (dunia tengah), yaitu dunia tempat manusia menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari. Dunia ini dilambangkan dengan warna merah;
c.Banua Partoru (dunia bawah), yaitu dunia tempat manusia yang sudah meninggal atau disebut juga dunia roh. Dunia ini dilambangkan dengan warna hitam.

Tiga dunia yang dipercaya ini dapat dilihat dalam seting kehidupan masyarakat Mandailing baik dalam skala mikro (rumah) maupun dalam skala makro (lingkungan spatial). Kosmologi tiga dunia, yaitu Partoru, Partonga dan Parginjang diterjemahkan oleh masyarakat Mandailing Julu dalam membangun rumah huniannya. Rumah diangkat kedudukannya dari tanah (dunia bawah) karena dunia bawah dianggap sebagai tempat manusia yang sudah meninggal dan daerah yang nista atau kotor. Oleh karena itu, bangunan tempat tinggal mereka merupakan rumah panggung.

PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP ARSITEKTUR
Lingkungan buatan mempunyai bermacam-macam kegunaan, seperti melindungi manusia dan kegiatan-kegiatannya serta harta miliknya dari musuh-musuh berupa manusia dan hewan, dan dari kekuatan adikodrati. Fungsi lain juga untuk membuat tempat, menciptakan suatu kawasan aman yang berpenduduk dalam suatu dunia fana dan cukup berbahaya, menekankan identitas sosial dan menunjukkan status dan sebagainya. Dengan demikian, bentuk arsitektur dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, jika manusia memilih pandangan yang lebih luas dan meninjau faktor-faktor sosial budaya, dalam arti seluas-luasnya, lebih penting dari iklim, teknologi, bahan-bahan dan ekonomi.

Lingkungan buatan menyampaikan makna-makna, memberikan kerangka ruang dan waktu untuk tindakan manusia dan perilaku yang tepat (Rapoport, dalam Snyder, 1989 : 5-6).
Bentuk dan susunan yang terwujud sebagai suatu fenomena fisik memberikan peluang untuk menjadi beragam, sebagai akibat respon masyarakat dengan latar lingkungan fisik, sosial, kultural dan ekonomi yang beragam pula. Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas manusia serta pengaruh seting atau rona lingkungan baik yang bersifat fisik maupun non-fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya (Rapoport, 1990 : II, 9).

Untuk dapat memahami lingkungan hunian sebagai fenomena fisik tampaknya akan menjadi lebih jelas jika karakter kultur, pandangan dan tata nilai masyarakat setempat dapat digali dan ditemukan. Perbedaan atau persamaan suatu kultur dengan kultur lainnya dapat dinilai dan ditandai berdasarkan unsur-unsur universal dalam sistem kebudayaan yang terangkum dalam 3 wujud, yaitu :
1.Cultural System, yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan yang bersifat abstrak.
2.Social System, yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks aktifitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.Physical System, yaitu wujud kebudayaan benda-benda hasil karya manusia yang mempunyai sifat paling kongkrit, dapat diraba, diobservasi dan didokumentasikan atau disebut juga kebudayaan fisik.

Masing-masing wujud budaya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Kebudayaan ideal mengatur pola aktifitas manusia akhirnya akan menghasilkan kebudayaan fisik dan sebaliknya kebudayaan fisik akan membentuk lingkungan tertentu yang akan mempengaruhi pola aktivitas manusia dan cara berfikirnya. Ketiga wujud kebudayaan tersebut memiliki urutan yang makin mewujud pada bentuk kongkrit dan teraga dimulai dari Cultural System menuju Social System dan akhirnya adalah Physical System (Koencaraningrat, 1990, dalam Is, 1994 : II, 26).

Kebudayaan sebagai suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan akan terwujud melalui pandangan hidup (wold view), tata nilai (values), gaya hidup (lifestyle) dan akhirnya aktifitasnya (activities) yang bersifat kongkrit. Aktivitas ini secara langsung akan mempengaruhi wadah, yaitu lingkungan yang diantaranya adalah ruang-ruang di dalam permukiman (Rapoport, 1969 : III, 46).
Dengan demikian, sebagai wujud fisik kebudayaan merupakan hasil dari kompleks gagasan yang tercermin dalam pola aktivitas masyarakatnya. Rapoport juga menyatakan bahwa budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk, sedangkan faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik serta ekonomi merupakan faktor kedua.

Perubahan budaya berpengaruh terhadap rumah dan lingkungannya. Bentuk perubahan tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh tetapi tergantung pada kedudukan elemen rumah dan lingkungannya dalam sistem budaya (sebagai core atau peripheral elemen). Hal ini mengakibatkan ada elemen-elemen yang tidak berubah dan ada elemen yang berubah mengikuti perkembangan jaman (Rapoport, 1983, dalam Mulyati, 1995 : II, 29).

Selanjutnya Rapoport mengatakan bahwa sesuai dengan kondisinya masyarakat tidak pernah diam, tetapi akan selalu berubah dan berkembang. Sesuatu yang dihasilkan manusia terbentuk karena latar belakang sosial budaya atau kondisi sosial manusianya. Tradisi perubahan yang terjadi selama ini karena masyarakat tertarik pada kesinambungan dan keotentikan, sehingga manusia cenderung mengabaikan perubahan dan ambiguitas.

Sementara itu, adanya proses kesinambungan dan perubahan (continuity and change) adalah untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan baru dan kepentingan lama. Pada hakekatnya, kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia dalam suatu proses pembaharuan terus menerus terhadap tradisi yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik (Papageorgiu, 1971, dalam Mulyati, 1995 : II, 27)

Bentuk tatanan fisik lingkungan permukiman atau hunian juga dapat dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri dari Spatial System, Physical System dan Stylistic System. Spatial System berkaitan dengan organisasi ruang yang mencakup hubungan ruang, organisasi, pola hubungan ruang dan sebagainya. Physical System meliputi penggunaan sistem konstruksi dan penggunaan material, sedangkan Stylistic System merupakan kesatuan yang mewujudkan bentuk, meliputi bentuk fasade, bentuk pintu, bentuk jendela serta ukuran-ukuran ragam hias baik di dalam maupun di luar bangunan (Habraken, 1978, dalam Is, 1994 : II, 25).

Asitektur tidak hanya sekedar penyediaan wadah bagi aktivitas manusia tetapi juga menciptakan ruang-ruang yang memiliki makna sosial dan simbolik. Lingkungan hunian sebagai salah satu bentuk ruang arsitektur biasanya mencerminkan ide dan gaya hidup masyarakat penciptanya. Masyarakat menterjemahkan ruang-ruang yang berkaitan dengan fungsi publik dan ritual ke dalam lingkungan huniannya dengan cara yang berbeda dan membentuk variasi-variasi tertentu sehingga terbentuk pola yang beragam (Waterson, 1990 : III, 43).

PERMUKIMAN SEBAGAI WUJUD KEBUDAYAAN
Terbentuknya suatu pola permukiman sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat. Pada beberapa kasus, terbentuknya permukiman juga sangat dipengaruhi oleh adanya sistem kekeluargaan, seperti yang terdapat juga di Mandailing Julu. Masyarakat Mandailing yang memiliki budaya tersendiri yang berbeda dengan kebubayaan Batak (dan berbeda juga dalam hal pemahaman tentang sistem kekeluargaan ‘dalihan natolu’) mewujudkan permukimannya melalui cara dan proses yang memiliki karakter tersendiri. Perbedaan mendasar dari Mandailing Julu dengan Batak Toba dan Batak Karo dalam hal membentuk permukimannya adalah adanya peran sungai. Beberapa literatur tidak menyebutkan pentingnya sungai dalam mendirikan sebuah perkampungan baru bagi masyarakat Batak Toba, tetapi bagi masyarakat Batak Karo sungai ternyata memberikan andil yang cukup besar dalam penataam permukimannya, karena disebutkan bahwa permukiman masyarakat Batak Karo dan perletakan bangunan adatnya senantiasa mengikuti arah aliran sungai.Setiap bangunan adat di tanah Karo pintu-pintunya terletak di utara dan selatan. Sekalipun sama besarnya, dari segi adat, pintu utama adalah di bagian selatan, ke arah mana sungai mengalir (Depdikbud, 1986).
Struktur spasial permukiman tradisional dapat dikatagorisasikan ke dalam dua hubungan yang mendasar, yaitu pertama antara global space dengan elemen space dan yang kedua adalah hubungan antara elemen-elemen space itu sendiri. Ada dua hubungan mendasar tersebut diwujudkan dalam 4 konsep struktur spasial yaitu placement dan sequence sebagai hubungan antara global space dengan element space sedangkan Interaction dan hierarchy sebagai hubungan antar element space. Global space didasarkan atas kognisi penduduk desa, sedangkan tanah, jalan, unit-unit rumah, fasilitas lingkungan merupakan element spaces (Han, 1991 : 1-2). Dalam membentuk permukimannya, masyarakat Mandailing Julu telah memiliki kognisi tersendiri tentang sebuah permukiman, yaitu harus dekat dengan sungai. Sungai menurut kognisi mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri, sehingga apapun yang direncanakan di dalam lingkungan huniannya senantiasa berpatokan pada letak dan posisi sungai di dalam kampung. Dalam hal ini, sungai dianggap sebagai elemen yang suci, sehingga keberadaannya sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di dalam kampung. Hal ini juga dapat dilihat dari mobilitas mereka di dalam kampung yang menggunakan istilah-istilah lokal, yang mengacu pada arah aliran sungai, yaitu jae (hilir)-julu (hulu).

Arsitektur tradisional yang berkembang menurut sistem kepercayaan turun temurun mempercayai bahwa kehidupan yang ideal harus memiliki keselarasan dengan alam. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan seperti pola hidup, bentuk hunian, material atau bahan, pola permukiman, tata bangunan, orientasi dan sebagainya juga sangat ditentukan oleh sistem kepercayaan atau kosmologi masyarakat tertentu. Masyarakat dalam mendirikan hunian dan membentuk permukimannya masih sangat berpegang teguh pada nilai-nilai adat dan menterjemahkan pandangan hidup mereka dalam membentuk hunian dan permukiman. Arsitektur Mandailing Julu juga sangat mempertimbangkan keselarasan hidupnya dengan alam sekitar. Walaupun mereka memiliki patokan-patokan dan aturan adat yang sedemikian ketat, namun dalam pelaksanaannya di lapangan senantiasa mempertimbangkan kondisi geografis. Hal ini dapat dilihat dari terbentuknya beberapa pola permukiman dan pola bangunan adat di dalam kampung, yang memiliki beberapa variasi. Jika di analisa, variasi-variasi tersebut pada dasarnya memiliki pola dasar yang sama dan perbedaan yang nampak hanyalah upaya untuk tidak merusak alam atau memanfaatkan potensi tapak setempat, namun tidak menyalahi koridor adat dalam menempatkan seting setiap elemen-elemen kampung.

Bagi masyarakat tradisional, sebuah desa atau kampung merupakan lingkungan tempat hidup, tempat mereka melakukan kegiatan perekonomian, sosial dan juga aktivitas keagamaan. Beberapa kampung atau desa tradisional secara tegas benar-benar mempertimbangkan daerah yang dianggap sakral sebagai pusat kosmos sehingga dalam pengaturan pola huniannya selalu diikuti oleh aturan 3 klasifikasi ruang seperti timur-barat, atas-bawah dan pria-wanita. Ketiga klasifikasi ini memiliki makna tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, orientasi pada bangunan hunian masyarakat juga mempunyai makna dan pengaruh terhadap seting kehidupannya dan akan diterjemahkan dalam gaya hidup (lifestyle) masyarakat setempat (Harahap, 1999 : 310 ). Hal ini juga terjadi di permukiman Mandailing Julu, namun sejauh ini belum ditemukan adanya klasifikasi ruang pria-wanita. Timur-barat, dalam permukiman Mandailing julu juga ditemukan dalam istilah setempat, yaitu jae (hilir)-julu (hulu), sedangkan atas-bawah juga ditemukan dalam istilah lokal, yaitu dolok (atas)-lombang (bawah). Terdapat beberapa pengecualian di Mandailing Julu, yaitu bahwa jae (hilir)-julu (hulu) tidak selalu berada pada koridor timur-barat, tetapi dapat juga pada arah utara-selatan, karena jae (hilir)-julu (hulu) berpatokan pada arah aliran air sungai.

Keberlanjutan tradisi bermukim bagi masyarakat tradisional juga dipengaruhi oleh 4 hal, yaitu (1) kepercayaan dan filosofi; (2) penempatan elemen-elemen lingkungan seperti hutan, daerah hunian, tanah pertanian, tempat-tempat suci dan sebagainya; (3) iklim setempat dan (4) kemampuan tukang. Tetapi, dari keempat faktor tersebut yang paling berpengaruh adalah kepercayaan dan filosofi atau pandangan hidup masyarakatnya (Dayaratne, 1999 : 187). Hal ini juga dapat di lihat pada permukiman masyarakat Mandailing Julu, contohnya pada pola penataan makam di masa lalu dan masa sekarang. Dulu, ketika agama Islam belum masuk ke daerah ini, makam tidak memiliki orientasi seperti layaknya makam seorang muslim, tetapi setelah Islam masuk letak makam disesuaikan dengan syariat Islam. Proses perpindahan permukiman yang ‘turun gunung’, juga karena adanya kepercayaan yang berubah walaupun tetap saja berhubungan dengan kebutuhan mereka terhadap air dan filosofi mereka terhadap air, atau dalam hal ini adalah sungai.

Masyarakat dalam membentuk lingkungan huniannya yang baru ditempat yang berbeda dari tempat asalnya, akan selalu mengikuti kebudayaan dan sistem kepercayaan yang mereka pegang teguh di lingkungan hunian mereka yang lama. Hal ini dapat dilihat pada upaya masyarakat tersebut dalam memodifikasi lingkungan huniannya yang baru. Mereka tetap memasukkan nilai-nilai lama yang sudah berakar dan menjadi kepercayaan sejak dulu di lingkungan huniannya yang baru (Sumintardja, 1999 : 299).
Elemen-elemen tertentu dalam suatu permukiman akan sangat menentukan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasikan the spirit of space dari suatu tempat. Hal ini dapat diketahui melalui pergerakan-pergerakan tertentu yang bersifat ritual, sehingga dapat diketahui daerah atau tempat yang sakral atau untuk menentukan nilai kesakralan suatu tempat (Kurniawan dan Pramanasari, 1999 : 353).

Beberapa teori dan konsep tersebut yang berhubungan dengan permukiman dan kebudayaan secara umum mengungkapkan bahwa, manusia dalam membentuk wadah atau tempat hidupnya sangat dipengaruhi oleh budaya yang telah berakar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya. Selain itu, aspek sosial menjadi faktor berikutnya yang sangat dipertimbangkan dan biasanya selalu berjalan beriringan dalam proses pembentukan wadah hunian bagi masyarakat tertentu. Aspek-aspek lain seperti iklim, kondisi geografis, dan lain sebagainya akan menjadi faktor yang mengikuti aspek-aspek budaya dan sosial.

PENUTUP
Arsitektur Mandailing Julu dibentuk oleh sejarah dan kebudayaan dengan menerapkan konsepsi Banua, sistem kepercayaan sekaligus juga kondisi geografis setempat. Konsep Banua, sistem kepercayaan dan kondisi geografis setempat merupakan tiga unsur yang sangat mempengaruhi terbentuknya arsitektur Mandailing Julu.

Elemen-elemen arsitektur yang berkaitan dengan pola tata-bangunan yang terdapat di Mandailing Julu terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok bangunan-bangunan biasa dan kelompok bangunan-bangunan utama.
a.Kelompok bangunan-bangunan biasa merupakan bangunan hunian masyarakat yang terdapat di sekitar Alaman Bolak dan membentuk 3 pola, yaitu pola yang saling berhadapan dan berlapis, pola searah dan membentuk lapisan, serta pola berhadapan dan membelakangi. Semua pola yang ada terletak pada zona Banua Partonga dengan orientasi yang berbeda-beda.

b.Kelompok bangunan-bangunan utama merupakan bangunan hunian raja dan pelengkapnya yang terdapat di sekitar Alaman Bolak dan membentuk dua pola, yaitu pola yang saling berhadapan dengan posisi Alaman Bolak berada di antara bangunan-bangunan utama dan pola yang berdampingan dengan posisi Alaman Bolak sebagai perangkai bangunan-bangunan utama. Alaman Bolak dan Sopo Godang diletakkan pada zona Banua Partonga sedangkan Bagas Godang diletakkan pada zona Banua Parginjang dengan orientasi dan konfigurasi yang berbeda-beda.

Perletakan tiap elemen juga berpengaruh terhadap pola tata-bangunan yang ada. Bangunan-bangunan dan elemen-elemen fisik lainnya yang berada di sepanjang sisi sungai harus dibangun sedemikian rupa sehingga harus sesuai dengan kondisi alam sekitarnya. Pembagian wilayah huta dan perletakan elemen-elemennya sesuai dengan konsep kosmologi tentang banua. Jae, julu dan tonga merupakan bagian dari zona Partonga, dolok merupakan bagian dari Partoru dan lombang merupakan bagian dari Parginjang. Peran penting sungai juga dapat dilihat pada kedudukannya dalam konsep kosmologi banua yang selalu berada pada zona Banua Parginjang. Sungai yang berada di lombang hanya menunjukkan letaknya sedangkan makna sungai sesungguhnya merupakan elemen yang suci dan mulia, sehingga sesuatu yang nista yaitu makam di partoru harus dijauhkan dari sungai.

Fenomena lain yang menunjukan bahwa sungai memiliki makna khusus juga dapat diketahui dari sejarah awal terbentuknya huta oleh nenek moyang suku Mandailing. Mereka menyusuri sungai dan menemukan sebuah muara sebagai tempat cikal bakal huta pertama di Mandailing. Tahap perkembangan huta-huta selanjutnya selalu mengacu pada keberadaan dan letak sungai.

Sungai semakin memiliki arti penting ketika Islam masuk ke daerah ini, karena merupakan sumber air di Mandailing. Selain sungai, sumber air lain adalah pancuran-pancuran air yang berasal dari pegunungan di seberang sungai tersebut. Dalam pembahasan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa zona Banua Parginjang selalu ditandai dengan adanya sungai dan daerah pegunungan di seberang sungai tersebut. Sungai menjadi patokan atau tolok ukur yang digunakan oleh masyarakat Mandailing dalam menentukan zona Banua Parginjang yang di anggap suci.

Matapencarian penduduk yang sebagian besar petani juga menjadikan sungai sebagai sumber kehidupan yang mengairi sawah-sawah karena daerah persawahan di Mandailing berada di sekitar sungai-sungai tersebut. Selain itu, ada juga upacara yang dulu dilakukan berkaitan dengan kelahiran bayi. Bayi yang baru lahir akan dibawa ke sungai dan dilakukan upacara adat menyambut kelahiran bayi.

Menurut pengertian lobu yang pertama seperti telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, peran sungai juga menjadi penting. Lobu merupakan daerah paling strategis dan berada di dekat sungai. Persyaratan letak lobu yang berdekatan dengan sungai merupakan prioritas utama dalam memilih lahan baru perkampungan. Hal ini semakin memperjelas arti penting sungai sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Mandailing.

SUMBER PUSTAKA
Dayaratne, Ranjith, 1999, Buddhism, Vernacular Settlements and Sustainable Traditions in Sri Lanka, Paper Seminar on Vernacular Settlement, The Faculty of Enginering University of Indonesia, Jakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Album Arsitektur Tradisional Sumatera Utara, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Medan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Arsitektur Tradisional Sumatera Utara, 1986, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Proyek Pengembangan Permuseuman, 1983, Monografi Kebudayaan Angkola-Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara, Medan

Han, Pilwon, 1991, The Spatial Structure of the Traditional Settlements, a Study of The Clan Village in Korean Rural Area, Ph.D Dessertation, Journal of Architectural Institute of Korea, Vol. 9, No. 7, (July, 1993), Seoul National University, Korea

Harahap, H.M.D., 1986, Adat Istiadat Tapanuli Selatan, Cetakan Pertama, Grafindo Utama, Jakarta

Harahap, Yulia Nurliani, 1999, The Meaning of Orientation in Kampung Naga and its Effects to the Setting of Life, Paper Seminar on Vernacular Settlement, The Faculty of Enginering University of Indonesia, Jakarta
Is, Sudirman, 1994, Pola Permukiman Minangkabau, Studi Kasus Nagari Sungayang, Laporan Tesis S2, Program Pascasarjana Teknik Arsitektur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Kurniawan, Kemas Ridwan and Pramanasari, Putu Ayu, 1999, The Spiritual Path of the Gravestone Moving Ritual in the West Sumbanese Settlement Tradition : The Case of Anakalang, Paper Seminar on Vernacular Settlement, The Faculty of Enginering University of Indonesia, Jakarta

Lubis, M. Dolok dan Harisdani, D. Devriza, 1999, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, Karya Ilmiah, Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Medan

Lubis, M. Arbain, 1993, Sejarah Marga-marga Asli di Mandailing, Cetakan Pertama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Medan

Lubis, Z. Pangaduan, 1986, Kisah Asal-usul Marga di Mandailing, Yayasan Pengkajian Budaya Mandailing (YAPEBUMA), Medan

Mulyati, Ahda, 1995, Pola Spatial Permukiman di Kampung Kauman Yogyakarta, Laporan Tesis S2, Program Pascasarjana Teknik Arsitektur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal Kecamatan Kotanopan, 2000, Data Monografi Kecamatan, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal

Rapoport, A., 1985, Asal-usul Kebudayaan Permukiman, Intermedia, Bandung

Rapoport, A., 1969, House Form and Culture, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J

Samingoen, Sampoerna, dkk, 1993, Album Arsitektur Tradisional Sumatera Utara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Medan

Situmorang, Oloan, 1997, Mengenali Bangunan serta Ornamen Rumah Adat Daerah Mandailing dan Hubungannya dengan Perlambangan Adat, Cv. Angkasa Wira Usaha

Sudjatmoko, Eko, dkk, 1999, Struktur dan Konstruksi Rumah Tradisional Mandailing Julu, Laporan Seminar Arsitektur Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Medan (ITM), Medan

Sumintardja, Djauhari, 1999, Vernacular Settlements of Isolated Tribes : between the Push to Change a Lifestyle and the Persistenceof Traditional Roots, Paper Seminar on Vernacular Settlement, The Faculty of Enginering University of Indonesia, Jakarta

Waterson, Roxana, 1990, The Living House : an Antropology of Architecture in South-East Asia, Oxford University Press, New York

Website Internet
http://www.mandailing.org

MANDAILING DALAM LINTASAN SEJARAH
oleh Drs. Pengaduan Lubis, 2004, http://www.mandailing.org/ind/rencana18.html

PELESTARIAN WARISAN BUDAYA MANDAILING
oleh Drs. Pengaduan Lubis, Oktober 1998, http://www.mandailing.org/ind/rencana17.html

Pak Supir Taksi : Si Ahli Puasa Senin Kamis

Assalamu'alaikum wr.wb ! (yang ini sy tdk berani bikin singkatan terlalu pendek, krna ada cerita lucu tentang nya, dan lain kali saya tulis deh di catatan saya, dan saya bagikan ke anda semua, my friends)

Catatan kali ini, benar-benar saya ketik langsung di status FB-ku lho ...(soalnya, catatan yang laen kan copy paste ..he he he ) Tak apalah,apapun itu semoga berguna dn jadi pembelajaran buat aku pribadi !
(sekalian mempraktekkan teori dari pak Lasa dan pak Aadaby (bu Ahda dan Mbak Lena pasti tahu siapa mereka berdua itu ... ^_^)

Sebenarnya, pengalaman ini telah di rekam sih (terutama dalam bentuk tulisan ) tapi rekaman dalam bentuk soft-copy nya masih tersimpan manis di otak-ku !

Ceritanya gini ....

Beberapa hari yang lalu, (Kamis, 3 Desember 2009) aq berniat membeli obat untuk anakku (bita, tiba-tiba matanya merah, agak bengkak ... walah si mami ini lgsung panik, knapa mata anakku yg cantik-'seperti maminya'- ini ya... ).
Jadi, sekalian mau membeli sesuatu di salah satu toko di Malioboro, (halah, nyari obat kok jauh banget dari rumah ya ? keliatan mau jalan2 and shopping xi xixixixi ) aq memutuskan cari apotiknya juga yang dekat toko tujuan qu (toko nya rahasia ...) so, harus naik taksi (soale, aq males naik angkutan, he he he panas dan banyak copet (yang kedua dan terakhir itu, kata orang-orang sih )...

Gak lama menunggu, si taksi pun dtg, qu stop, pak supirnya (dari dalam) membukakan pintu belakang buat qu (padahal, kalo naik taksi sendirian, aq lebih senang duduk di depan) ...
Dengan senyum ramah dan sangat sumringah, pak supir taksi mempersilahkan aq naik dan menanyakan tujuan ku .... ! Aq lgsg bilang : Malioboro ya pak ... !
Si bapak supir taksi ini, agak terlalu riang kelihatannya (dibandingkan dengan supir-supir taksi lainnya yang pernah qu naiki lho ....)

Beliau itu (sang supir taksi) terus berceloteh sambil tersenyum lebar. Tak pernah tergambar 'kernyit' di dahinya, selama dalam perjalanan (maaf, aq belum bilang ya...., aq naik taksinya dari perpus pasca, selatan gedung pusat,ugm) menuju malioboro.

aq tanya : "pak, kok sepertinya senang sekali, ada apa niy ?"
dia jawab : " iya nih mbak, Alhamdulillah dari tadi penumpang say gak berenti-berenti, sejak keluar dari rumah tadi jam3, sampe jam 5 sore ini, tak putus-putus penumpang saya ....! mungkin ini lah rezeki yang di turunkan oleh Allah untuk saya, karena saya tidak putus juga puasa senin kamis ,selama 9 tahun sampai sekarang ... ! maaf, mbak nya sedang puasa gak sekarang ya ? ....

heght.....aq tertohok ...hok ...hok .... banget ! Soalnya aq rabunya sdh niat puasa, tp gak jd, halah....malah di tanya pula oleh seorang bapak supir taksi, bah .... bagaimana aq menjawab ?

"iya niy, pak saya gak puasa hr kamis ini ...he he he , padahal td malam dah niat ... ! Alhamdulillah kalo Bapak terus puasa senin kamis.. ! ku jawab gitu deh ,,,kalah malu niy ....^_^

si bapak taksi bilang gini : "saya dari dulu gak pernah puasa mbak, ya ramadhan apalagi senin kamis, gak pernah tuh saya puasa. Saya puasa sejak 9 tahun lalu, krn di sugesti (ni bhs qu ya, bkn si bpk yg ngomong) seorang nenek, tetangga saya ...!

"knapa gak pernah puasa pak ? tanya qu

"soalnya saya punya penyakit maag akut banget, mbak. Kalo saya telat makan, saya muntah-muntah, lalu pingsan, jadi saya selalu berusaha tidak telat makan. makanya, saya dulu takut puasa, takut maag saya kambuh ....!gitu jawab si bapak.

"wah, gitu rupanya. Jadi, gmana ceritanya si nenek tetangga bapa?" tanya saya lagi

"nah,itu dia mbak... ! waktu itu, dia bilang ke sana : kamu mau gak maag kamu sembuh ? Saya bilang, ya mau mbah. Gimana caranya, kata saya. Si mbah bilang ke saya : "kalo kamu mau sembuh dari semua sakitmu, puasa lah !" gitu katanya, mbak !" jadi, sejak dia bilang gitu ke saya, malamnya saya tahajjud mbak, saya berdoa ; Ya Allah, tolong lah hamba-Mu ini, kalau memang dengan cara puasa saya bisa sembuh dari sakit yang sangat menyiksa ini, saya akan puasa terus selamanya dalam hidup saya ya Allah, saya akan puasa senin kamis tanpa putus ya Allah .... ! Kuatkanlah hamba-Mu ini ya Allah, lindungi hamba dan jagalah hamba selalu dalam puasa hamba. Jika hamba meninggal karena puasa ini ya Allah, itu karena kehendak-Mu, tapi jika hamba ternyata dapat terus hidup dan sembuh dari sakit hamba, itu juga karena-Mu ya Allah !itu doa saya , mbak ....dan Besoknya, saya lgsung mencoba puasa mbak.... ! "

waktu itu, aq terharu dan 'merinding' dengar si bapak berdoa, dengan nada suara yang sangat memohon dan pasrah !

dia lanjutkan ceritanya ...

"hari pertama saya puasa mbak, 9 tahun lalu, saya hanya baca bismillah ketika akan berangkat bekerja, sebagai supir taksi. Di dalam hati saya, saya berkata : saya harus bisa karena Allah bersama saya. Apapun yang terjadi, Allah bersama saya.... tak putus saya berzikir, subhanallah, walhamdulillah, walaailahaillallahu Allahu Akbar ....terus mbak,terus saya berzikir, tanpa terasa siang terlewati, saya terus bekerja, muterin jogja, nyari penumpang yang mau naik taksi saya, hingga sore menjelang, hingga saat berbuka akan tiba ... Saya nangis, mbak. Saya sujud syukur ! Saya bilang, ya Allah.... hamba-Mu ini gak merasakan sedikitpun sakit yang selama ini kuderita ya Allah, kemana perih itu, kemana muntah-muntah itu, kemana pingsan itu ? Ya Allah, sungguh besar kuasa Engkau ya Allah, Engkau mendengar doa-doaku ya Allah.... saya berhasil puasa mbak, dan Subhanallah, sejak hari itu maag akut saya sembuh total, mbak ... !

(saya nyaris berkaca-kaca mendengar cerita si bapak ! ya Allah, Engkau senantiasa mengingatkan ku lewat sesuatu yang tidak aq sangka-sangka : seorang supir taksi yang mulia memujamu, sepanjang hidupnya, sejak 9 tahun lalu, dengan ber-puasa, tanpa putus .... !)

saya terharu, si bapak terus bercerita ....

"sekarang mbak, insya Allah saya tidak pernah meninggalkan puasa senin kamis saya, sepanjang itu tidak bertentangan dengan aturan Allah (maksud si bapak, kalo pas hari lebaran, pas juga hari kamis ya gak puasa ... ):
"Banyak sekali kemudahan yang saya dapat mba, setelah puasa-puasa yang saya lakukan selama 9 tahun ini, seperti misalnya anak-anak saya sukses sekolahnya, walaupun saya tidak bisa membiayai kuliah mereka, tetapi sejak tamat sekolah menengah atas, anak-anak saya langsung diterima kerja, dan sekarang mereka bisa membiayai kuliahnya sendiri. Satu hal lagi,mbak ...istri dan anak-anak saya juga ikut-ikutan puasa senin kamis dengan saya, saya bersyukur, Subhanallah, Alhamdulillah, gitu mbak .... !"

si bapak melanjutkan " saya sangat bersyukur kepada Allah dan juga tentu si mbah tetagga saya mbak, yang sudah kasih semangat untuk saya biar saya sembuh"

tujuan hampir nyampe,si bapak masih sempat bilang gini : "jgn lupa puasa senin kamis ya mbak, baik lho untuk kesehatan ... ! maaf lho, kalo saya terlalu banyak ngomong, maaf jg kalo kata-kata saya menyinggung mbak nya ...." katanya sambil senyum ramah.

"insya Allah, bapak ... saya malah seneng lho dengar pengalaman Bapak !" gitu jawab qu dengan pipi agak merah (bukan krn pakai blush-on, tapi karena 'malu' gak puaasa .... xi xixixi )

"berapa, niy pak ?" tanya qu...
"lima belas ribu saja mbak,matur nuwun.... !" jawab si Bapak !

Dan, berpisah lah aq dengan si bapak supir taksi, ahli puasa senin kamis !

Hmmmm, mungkin kalo aq hari kamis itu puasa, hati juga jadi lebih tenang menghadapi bita-ku yang sedang sakit .... ! Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang lalai ini !

Btw, gara-gara Tausiyah si bapak supir taksi tadi, aq gak jd shopping-shopping,(teringat jerih payah si bapak ngais rezeki susah payah, gak fair rasanya kalo aku rada' boros') cuma beli obat di apotik, trus pulang ...., tapi gak naik taksi, naik ojek langganan! (bingungkan ? kok tadi gak naik ojek langganan aja ? knapa harus naik taksi ? yah, kalo naik ojek langganan, aq ga akan ketemu si bapak AHLI PUASA tadi dong. dan gak dapat tausiyah hebatnya .... ya kan ? alasan kedua, waktu itu siang, panas banget, gak enak naik ojek, tapi kalo dah sorean dikit, kan dah gak panas .... he he he .... !
semua ada hikmahnya !)

Hadis yang menegaskan tentang puasa senin kamis paling tidak ada dua:

1. Abû Hurayrah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. paling sering berpuasa senin kamis. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “Seluruh amal dibentangkan pada hari senin dan kamis. Ketika itulah Allah mengampuni setiap muslim atau setiap mukmin kecuali yang melakukan dosa secara terang-terangan. Allah berkata, ‘Tundalah untuknya.’ (H.R. Ahmad dengan sanad sahih).
2. Nabi saw. pernah ditanya tentang puasa pada hari senin. Beliau menjawab, “Ia adalah hari saat aku dilahirkan dan mendapat wahyu.” (Shahih Muslim)

Wallahu a’lam bi al-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.

CUT NURAINI

Selasa, 08 Desember 2009

Review Buku MANDAILING ARCHITECTURE Tim Peneliti Badan Warisan Sumatera dan Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara Ketua : Rika Susanto

Reviewer
Cut Nuraini

PENDAHULUAN
Buku Mandailing Architecture ini merupakan laporan penelitian hasil kerjasama antara Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara dengan Badan Warisan Sumatera yang membentuk sebuah tim. Tim ini terdiri dari Tim Peneliti yang diketuai oleh Rika Susanto dengan anggota Isnen Fitri, Iwan Setiawan dan Miduk Hutabarat; dan Tim drafter, yang terdiri atas relawan Badan Warisan Sumatera dan beberapa mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara.
Buku Mandailing Architecture ini terdiri atas empat bagian besar, yaitu bagian pertama Analisis Makro tentang Kampung di Mandailing, meliputi tiga tempat: Manambin, Hutagodang dan Kotanopan; bagian kedua Analisis Mikro tentang bangunan tradisional di Manambin, Hutagodang dan Kotanopan; bagian ketiga perbandingan antara arsitektur Batak lainnya, yaitu jenis-jenis rumah tradisional Toba, Karo dan Simalungun; bagian keempat Konservasi dan Strategi Implementasinya terhadap tiga kampung, yaitu Hutagodang, Manambin dan Kotanopan.

RINGKASAN BUKU
Latar Belakang sejarah Mandailing berawal dari seseorang yang bernama Daeng Malela, berasal dari Sulawesi dan pertama kali tiba di Angkola Jae, Singgalangan dan menikah dengan salah satu putri raja setempat. Setelah menikah, Daeng Malela mendapat gelar Namora Pande Bosi dan memiliki dua orang anak yang bernama Sutan Bugis dan Sutan Borayun. Selain itu, Namora Pande Bosi juga menikah dengan seorang putri bunian dan dari perkawinan tersebut dihasilkan dua anak orang anak bernama Langkitang dan Baitang (hal. 1-2).
Empat anak dari dua ibu yang berbeda ini nantinya akan menjadi cikal bakal perkembangan masyarakat Mandailing sesuai dengan kelompok marganya. Langkitang menurunkan marga Lubis Muara Partontang (Lubis Singengu) dan Baitang menurunkan marga Lubis Muara Partomuan (Lubis Singasoro) sedangkan Sutan Bugis dan Sutan Borayun menurunkan marga Hutasuhut, Harahap, Hasibuan (hal-2-3).
Masyarakat Mandailing yang menganut azas patrilineal sampai sekarang masih mempercayai adanya legenda Namora Pande Bosi yang dianggap sebagai nenek moyang masyakarat Mandaling. Pertumbuhan dan perkembangan kampung-kampung di Mandailing, khususnya Mandaliling Julu diawali dari sebuah kampung yang sudah eksis yang kemudian mengembangkan wilayahnya dengan membuka kampung-kampung baru berdasarkan kampung induknya, tempat tinggal raja. Dengan demikian, huta (kampung) ‘induk’ akan memiliki beberapa huta (kampung) ‘anak’. Raja di kampung induk disebut Panusunan Bulung dan rumahnya memiliki 9 anak tangga, sedangkan raja di kampung ‘anak’ disebut Raja Pamusuk dan rumahnya memiliki 7 anak tangga. Huta induk di Mandailing Julu adalah Manambin, Singengu dan Hutadangka dan setiap huta induk ini memiliki huta anak (hal.3).
Sebuah huta baru yang sudah ada, harus memiliki beberapa elemen dasar seperti keberadaan namora natoras, yang didalamnya terdapat tiga hubungan kekerabatan sebagai pijakan dasar bagi setiap aktifitas budaya dan sosial di huta. Sistem kekerabatan yang disebut dengan Dalihan Natolu terdiri atas Kahanggi (kelompok semarga), Mora (kelompok pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok penerima anak gadis) (hal.4)

Manambin adalah sebuah huta induk yang pertama kali didirikan oleh keturunan Namora Pande Bosi, Si Baitang. Kerajaan Manambin mulai diperintah oleh Raja Singasoro-II sekitar tahun 1860-an dan pada masa tersebut didirikan sebuah bangunan besar yang di sebut Bagas Godang. Nantinya, dari huta Manambin ini, dikembangkan sebuah huta baru, yaitu Hutagodang yang merupakan anak dari huta Manambin (hal.5)
Kampung Manambin terdiri atas lahan-lahan pertanian yang ditanami padi, buah jeruk, kopi, kayu manis dan karet. Selain itu, hampir pada setiap rumah selalu terdapat tobat/ tambak (kolam ikan) sebagai sumber penghasilan tambahan bagi masyarakatnya. Rumah-rumah penduduk memiliki kepadatan yang cukup tinggi, berderet di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan utama desa yang membagi huta menjadi dua bagian. Jalan masuk ke desa dipadati oleh rumah-rumah yang memiliki gang sempit diantaranya, dan kebanyakan gang tersebut telah di aspal.

Dulu, kampung Manambin dikelilingi oleh pagar bambu sebagai batas kampung dan kampung tersebut dikenal dengan sebutan pagaran. Konsep seperti ini juga ditemukan pada permukiman Batak lainnya khususnya Tarutung, Balige dan Toba. Namun, di masa sekarang konsep tersebut jarang ditemukan lagi di Mandailing, khususnya Manambin. Rumah-rumah tidak dipagar, tertutup, memiliki halaman kecil dan saling mengapit (hal.6).
Ruang terbuka publik yang sangat terbatas di kampung ini menyebabkan munculnya tempat-tempat favorit warga dalam melakukan kegiatan sosialnya seperti mengobrol dan bersosialisasi di malam hari di tangga-tangga rumah mereka, demikian juga halnya dengan pancuran air. Pancuran air selalu dihubungkan ke musholla dan mesjid. Di pagi hari pancuran air ini sangat ramai oleh kaum ibu yang mencuci pakaian sambil mengobrol. Di malam hari, kaum wanita bergabung dengan kaum pria di mesjid untuk sholat berjamaah dan berdiskusi tentang kampung mereka (hal.7).

Dulu, komplek istana raja terdiri atas Bagas Godang dan Sopo Godang. Sekarang dua bangunan utama tersebut sudah tidak ada lagi. Bangunan tradisional di lingkungan komplek istana mengelilingi Alaman Bolak, yaitu halaman luas di lingkungan komplek istana. Pada awal terbentuknya perkampungan Mandailing, di sekeliling kompleks istana raja-raja dibangun rumah-rumah rakyat yang terdiri atas beberapa lapis. Lapisan pertama merupakan bangunan hunian kerabat raja, yaitu kahanggi, mora dan anak boru, sedangkan pada lapisan berikutnya merupakan bangunan-bangunan hunian rakyat biasa. Hal ini disesuaikan dengan status sosial yang diatur oleh adat atau yang dikenal dengan sebutan Dalihan na Tolu (hal.7)

Sebuah banua atau huta memiliki beberapa banjar, dan beberapa banjar Manambin adalah Banjar Jae, Paya Lobak, Tonga, Jambur Batu, Jambur Genting, Lombang dan Banjar Hutasaba. Setiap Banjar berkembang menurut populasi desanya sendiri sedangkan orientasi biasanya tidak mempertimbangkan sturktur kampung induknya. Rumah-rumah penduduk berjajar di sisi jalan dan terdapat juga pola mengelompok di tengah banjar. Umumnya pola susunan massa bangunan membentuk pola linier. Bangunan-bangunan berorientasi ke arah jalan karena semua dibangun di sepanjang jalur sirkulasi (hal.8-11).
Sama halnya dengan Manambin, Hutagodang juga merupakan bagian dari wilayah Kotanopan. Sebelum kampung Hutagodang pertama kali didirikan, raja pada awalnya masih menetap di suatu tempat yang di sebut Hutadolok yang berlokasi di atas bukit, tidak jauh dari lokasi kampung Hutagodang yang sekarang. Salah satu alasan perpindahan tersebut adalah agar mereka lebih dekat ke sungai untuk membersihkan diri, dan dapat beribadah (hal.14)

Dua perbukitan di Hutagodang ditanami dengan kopi, jeruk, kayu manis yang merupakan produk utama dari Hutagodang selain beras. Sama halnya dengan kampung-kampung Mandailing lainnya, Hutagodang juga berlokasi dekat dengan sungai. Sungai yang berada di kampung ini adalah sungai Batang Pungkut. Bentuk lahan Hutagodang berbeda dengan Manambin, seperti kontur tanahnya yang lebih datar dan berair/ basah/ lembab (hal.15)
Saat ini, komplek istana Hutagodang terdiri atas bangunan Bagas Godang, Sopo Godang, Hopuk dan sebuah rumah kerabat raja. Di tengah bangunan-bangunan tersebut terdapat sebuah halaman luas, yaitu Alaman Bolak. Dalam sejarahnya disebutkan bahwa halaman ini dapat berfungsi sebagai tempat melindungi diri dari kejaran musuh. Setiap orang yang berhasil mencapai halaman ini, berhak mendapat perlindungan raja. Halaman ini dikenal dengan nama Alaman Bolak Selangseutang, artinya halaman tempat membayar hutang. Selain itu terdapat fungsi lainnya yaitu sebagai tempat berkumpul, tempat perayaan hari-hari besar Islam dan tempat anak-anak bermain (hal.16-17)
Rumah-rumah penduduk di Hutagodang juga dibangun di sepanjang sisi kiri kanan jalan yang membagi huta menjadi dua bagian. Pola linier mendominasi bentuk susunan massa bangunan, namun pada beberapa tempat ditemukan juga pola mengelompok. Jalan masuk desa dipadati dengan rumah-rumah penduduk dengan gang-gang sempit yang berliku-liku diantaranya, yang sebagian telah di aspal, sebagian lagi tidak. Secara umum, sama halnya dengan Manambin, di Hutagodang juga terdapat pancuran air sebagai tempat favorit warga dalam berinteraksi dengan sesama. Di tengah kampung terdapat makam leluhur yang tidak berorientasi ke kiblat, yang mengindikasikan bahwa leluhur tersebut bukan seorang muslim (hal.18)

Hutagodang tidak menggunakan sistem Banjar seperti Manambin. Sejauh ini, tidak ditemukan adanya bentuk susunan fisik tertentu dari pola yang ada. Pola linier yang ada kelihatannya sudah terbentuk karena mengikuti pola jalan yang ada. Hal ini juga tampaknya secara umum, di Manambin dan Hutagodang, masalah orientasi sama sekali tidak mempertimbangkan struktur kampung. Struktur kampung terlihat sangat linier sejauh 1 km, tetapi selalu terdapat struktur mengelompok di beberapa lokasi. Pada pola mengelompok, terdapat dua dan tiga lapis rumah sepanjang jalan. Pola ini dibentuk karena kebutuhan, jika pada satu lapis rumah di sisi jalan telah padat, maka akan dibangun rumah lain pada sisi yang berbeda, sehingga membentuk lapisan baru (hal.19-20).
Tidak ada satu arahan khusus yang mengharuskan ide-ide sejenis untuk mendirikan dan mengorientasikan bangunan. Secara umum, orientasi bangunan diarahkan ke jalan dan juga terdapat beberapa bangunan yang saling berhadapan dan membentuk pola mengelompok (hal.22).

Kotanopan adalah salah satu bagian dari kabupaten Mandailing Natal di propinsi Sumatera Utara. Secara geografis, Kotanopan dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan dan terletak di sepanjang sungai Batang Gadis. Kotanopan terdiri atas 84 desa yang kehidupan ekonomi masyarakatnya secara umum adalah di sektor pertanian kecuali sebagian lainnya yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri sipil dan bekerja di swasta. Hasil-hasil pertanian dari Kotanopan seperti kayu manis, jeruk, kayu, kopi, kentang dan beras banyak di pasarkan ke luar kota seperti Padang dan Medan (hal.26).
Pasar Kotanopan adalah ibukota dari kelurahan Kotanopan. Pada masa invasi Belanda ke daerah ini, Kotanopan merupakan pusat perjuangan pemuda setempat dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pahlawan kemerdekaan yang terkenal dari daerah ini adalah Willem iskandar, Mukhtar Lubis dan wakil presiden Indonesia yang pertama, yaitu Muhammad Hatta (hal.27).

Secara umum, arsitektur tradisional Mandailing dan Manambin dapat dibagi atas dua tipe, yaitu bangunan tradisional dan rumah-rumah setempat. Bangunan tradisional terdiri atas tiga bentuk, yaitu Bagas Bagonjong, Bagas Godang dan Sopo Godang sedangkan bangunan-bangunan setempat adalah bangunan untuk tepat tinggal kerabat raja seperti Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Bangunan utama, yaitu Bagas Bagonjong, Bagas Godang dan Sopo Godang terletak di tengah-tengah mengelilingi Alaman Bolak. Di sekeliling bangunan utama tersebut terdapat rumah-rumah lainnya yang berlapis-lapis. Lapisan pertama adalah rumah kerabat raja seperti Kahanggi, mora dan anak boru. Lapisan selanjutnya adalah rumah-rumah rakyat biasa sedangkan lapisan terakhir adalah kelompok rumah budak (hal.29).
Bagas Bagonjong artinya adalah rumah yang atapnya berbentuk lengkung. Istilah Bagonjong berasal dari bahasa Minangkabau, namun sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan istilah tersebut, karena menurut mereka nama bangunan tersebut tetaplah Bagas Godang. Susunan ruang-ruang di Bagas Bagonjong terdiri atas teras-teras di depan dan belakang yang digunakan sebagai ruang duduk keluarga raja, tempat penjaga dan ruang tunggu bagi tamu yang akan menemui raja. Ruang utama yang disebut pantar tonga digunakan sebagai ruang rapat atau kegiatan tradisional lainnya. Terdapat tujuh ruang tidur, yang salah satunya adalah ruang tidur tamu, terletak di sebelah kiri depan. Ada juga loteng di lantai atas, sedangkan lantai dasar digunakan sebagai gudang penyimpaan senjata dan penjara untuk budak. Dapur terdapat di belakang bangunan (hal.32)

Bangunan ini menggunakan struktur yang ringan yaitu kayu sebagai elemen utamanya dengan tiang-tiang penyangga berjumlah 49 buah. Konstruksi atapnya menggunakan kayu dan bambu sedangkan material penutup atapnya adalah bahan ijuk. Selain itu juga banyak digunakan ornamen-ornamen tradisional dengan warna-warna tertentu yaitu hitam, merah dan putih. Semua ornamen dan warna-warna yang digunakan memiliki simbol dan makna khusus. Bangunan utama secara aturan adat tidak boleh dibangun membelakangi matahari. Jadi bangunan harus menghadap matahari atau berada pada sumbu utara selatan. Bagas Godang berfungsi sebagai tempat tinggal raja dan sabagai tempat dilaksanakan kegiatan adat lainnya. Bagas Godang terdiri atas beberapa ruang seperti dua ruang tengah sebagai ruang pertemuan, ruang-ruang tidur, dapur dan gudang. Sopo Godang adalah semacam balai sidang adat, yaitu bangunan tempat dilakukannya pertemuan dengan para namora natoras untuk menyelesaikan berbagai permasalahan Rumah-rumah rakyat biasa berbeda dengan rumah tradisional ditinjau dari segi fungsi, gaya, ukuran, susunan ruang dalam, dekorasi dan lainnya. Tipe atap rumah di Manambin terdiri atas tiga bentuk, yaitu atap sarocino, merupakan atap rumah masyarakat biasa; atap sarotole dan atap silingkung dolok pancucuran merupakan atap rumah-rumah raja dan kerabatnya. (hal 34-35).

Bagas Godang di Hutagodang telah dibangun tiga kali karena pernah terbakar pada masa pemerintahan Raja Junjungan Lubis, sehingga dari segi desainnya juga telah mengalami sedikit perubahan dan perbedaan dari bentuk aslinya. Bangunan ini didirikan pada sumbu utara selatan dan memiliki beberapa ruang, seperti ruang tengah, ruang tidur, dapur dan gudang. Atapnya merupakan atap sarotole dan terdapat beragam ornamen didalamnya. Struktur bangunan ini menggunakan kayu sebagai material utamanya dengan sejumlah 26 tiang penyangga. Sopo Godang di Hutagodang letaknya berhadapan dengan Bagas Godang dan berfungsi sebagai balai sidang adat. Di dekatnya terdapat hopuk, yaitu tempat penyimpanan beras. Ukuran Sopo Godang yang sekarang juga lebih kecil dari ukuran yang sebenarnya. Bahan utama bangunan ini juga adalah kayu dan satu-satunya Sopo Godang yang tidak memiliki anak tangga, karena tanah tempat dibangunnya memiliki kontur yang agak tinggi (hal. 38-42)
Rumah-rumah rakyat biasa atau hatobangan (budak) di Hutagodang memiliki perbedaan dengan rumah-rumah kerabat raja seperti kahanggi, mora dan anak boru, ditinjau dari segi ukuran, bentuk, ornamen serta dekorasi pada dinding bangunannya. Namun, rumah-rumah jenis ini sudah jarang ditemukan, karena ketika Belanda datang ke daerah ini, para budak telah dibebaskan dan hatobangan (budak) tidak ada lagi di Mandailing. Ketika terjadi perang Paderi, beberapa warga Sumatera Barat banyak yang menetap di Mandailing dan membangun rumah di sana dengan perpaduan gaya Minangkabau dan Mandailing, sehingga model rumahnya merupakan perpaduan antara Minangkabau dan Mandailing. (hal.43)

Rumah-rumah keluarga raja di Hutagodang, yaitu kahanggi, mora dan anak boru juga telah banyak mengalami perubahan karena direnovasi. Tetapi pada dasarnya rumah-rumah tersebut terdiri atas 4 ruangan, yaitu ruang keluarga dua ruang tidur, satu dapur dan ruang makan. Besaran rumah-rumah kerabat raja ini juga bervariasi, tetapi terdiri dari dua model, yaitu rumah dengan 19 tiang dan 15 tiang penyangga sebagai strukturnya. Namun, dari sekian rumah kerabat raja hanya satu yang masih eksis sedangkan yang lainnya telah mengalami banyak perubahan karena renovasi (hal.44)
Rumah-rumah rakyat biasa di Hutagodang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan rumah-rumah kerabat raja, lebih sederhana dan ruang-ruangnya juga lebih sedikit. Hanya terdapat 3 ruang, yaitu ruang keluarga, ruang tidur dan dapur. Bagi rakyat biasa, jika telah berkeluarga harus keluar dari rumah dan membangun rumah sendiri. Rumah-rumah mereka biasannya hanya terdiri atas 3 anak tangga, namun pada masa sekarang sudah lebih bervariasi. Sedangkan strukturnya terdiri atas 15 tiang utama sebagai konstruksi penyangga di dalam bangunan. Atap rumahnya sama dengan atap yang terdapat di Manambin (hal. 45)

Kotanopan sebagai ibukota Mandailing Julu merupakan pusat terjadinya aktifitas masyarakat Mandailing Julu di masa sekarang. Banyak bangunan-bangunan tua di tempat ini memiliki konstruksi yang sangat sederhana, yang merupakan gabungan antara gaya arsitektur tradisional setempat dan arsitektur Kolonial Belanda. Bahan utama bangunan-bangunannya adalah kayu dan beton, sedangkan atap-atap bangunannya tidak lagi menggunakan ijuk tetapi telah diganti dengan seng. Selain lebih murah, seng gampang dikerjakan konstruksinya dan juga lebih tahan air. Banyak dari bangunan tersebut telah direnovasi sehingga sebagian besar telah merubah bentuk asli dan strukturnya. Beberapa fungsi bangunan yang terdapat di Kotanopan adalah pasar, penginapan, toko-toko, sejumlah kantor seperti pos, telekomunikasi dan beberapa sekolah (hal 47-48)
Berdasarkan beberapa jenis bangunan yang terdapat di Kotanopan, gaya atapnya dapat dikelompokkan atas beberapa jenis, yaitu atap bumbung panjang, atap bumbung lima, atap bumbung empat, atap sarocino, atap sarotole, atap silingkung dolok percucuran. Dekorasi pada bangunan-bangunan yang terdapat di Kotanopan didominasi oleh ornamen gaya arsitektur kolonial Belanda. Jika pada bangunan-bangunan lainnya di Manambin dan Hutagodang yang dibangun tidak menggunakan paku, maka pada bangunan-bangunan di Kotanopan semuanya menggunakan paku pada konstruksinya (ha 49-51)

Secara umum, jika dibandingkan dengan arsitektur tradisional Batak lainnya, Mandailing memiliki arsitektur tradisional yang lebih sedikit dibandingkan Batak Toba, Karo dan Simalungun. Batak Toba memiliki 5 jenis bangunan tradisional yaitu Ruma Gorga, Ruma Tanpa Gorga, Ruma Sibaba Ni Amporik, Sopo Godang dan Sopo Eme. Batak Karo juga memiliki 5 jenis bangunan tradisional, yaitu Rumah Kurung Manik, Rumah Satu Tersek, Rumah Dua Tersek Pake Anjung-anjung, Rumah Sangka Manuk dan Rumah Sendi. Batak Simalungun memiliki 5 jenis bangunan tradisional, yaitu Pinar Horbou, Pinar Musuh, Pinar Urung Manik, Pinar Bakkiring dan Pinar Rambung Lima (Hal. 52-58)
Inventori di tiga daerah Mandailing Julu, yaitu Manambin, Hutagodang dan Kotanopan menunjukkan bahwa ketiganya memiliki budaya yang signifikan untuk di konservasi. Beberapa perbedaan yang muncul dari ketiganya akan membentuk potensi konservasi yang berbeda-beda pula. Dari ketiganya, Hutagodang merupakan tempat yang memiliki karakter kuat dan dapat dilihat melalui lingkungan alamiahnya, sejarah, budaya dan aktivitas masyarakatnya yang kesemuanya itu terintegrasi menjadi satu kesatuan. Mekanisme strategi konservasi untuk Hutagodang adalah dengan melakukan revitalisasi ekonomi, dengan cara memberikan peluang di waktu senggang masyarakatnya, membantu dan memberikan pelatihan bagi masyarakat. Kotanopan memiliki potensi untuk dibangun sebuah museum atau perpustakaan sebagai pusat pengembangan kebudayaan Mandailing. Selain itu, perlu juga dilakukan konservasi terhadap beberapa bangunan bersejarah yang terdapat di sana. Manambin memiliki potensi wisata yang unik ditinjau dari letak dan komposisi massa-massa bangunannya di atas lahan-lahan berbukit dan berkontur. Potensi natural ini dapat dijadikan objek wisata yang menarik bagi pendatang, apalagi dengan adanya sistem pengaturan irigasi alami di setiap sudut kampungnya (hal.60-64).

PEMBAHASAN
Buku Mandailing Architecture ini menjelaskan tentang tiga desa di Mandailing Julu, yaitu Manambin, Hutagodang dan Kotanopan. Jika ditinjau dari sampel kasusnya, tiga desa ini tidak dapat mewakili arsitektur Mandailing yang sebenarnya, karena terdapat puluhan desa di Mandailing Julu. Teknik pemilihan sampel seharusnya dapat mewakili kasusnya, sehingga hasil penelitian tersebut lebih obyektif. Sementara, tim peneliti sama sekali tidak menjelaskan metode pemilihan sampel, mengapa hanya 3 desa tersebut yang dipilh sebagai kasus penelitian.
Latar belakang sejarah terbentuknya desa-desa di Mandailing yang dideskripsikan di awal-awal buku ini (hal.1-5) mengindikasikan adanya tipologi huta berdasarkan status dan raja yang memerintah di tiap huta pada masa lalu di Mandailing. Tipologi tersebut adalah (a). Huta Induk, yaitu huta-huta yang pada masa pemerintahan dulu dipimpin oleh seorang raja Panusunan. Huta induk memiliki beberapa huta anak yang letaknya tersebar. Manambin dan Hutagodang merupakan dua contoh huta induk di Mandailing Julu, selain Sayurmaincat, Singengu dan Tamiang (berdasarkan penelitian yang telah reviewer lakukan); (b). Huta Anak merupakan huta yang dipimpin oleh seorang raja Pamusuk dan tunduk dibawah raja Panusunan yang berkedudukan di huta induk. Huta anak tidak dapat memutuskan perkara adat secara sepihak tanpa persetujuan dari raja Panusunan. Dalam penelitian yang pernah dilakukan reviewer menunjukkan bahwa huta-huta yang termasuk dalam kelompok huta anak di Mandailing Julu adalah Hutadangka, Hutapungkut Julu, Simpang Tolang Julu, Rao-rao Lombang, Gunung Tua Muara Soro, Habincaran dan Tolang.

Hal khusus terjadi pada desa Hutagodang, Sayurmaincat dan Tamiang yang pada awalnya hanya merupakan sebuah huta anak, lalu berkembang menjadi huta induk. Salah satu huta anak dari desa Hutagodang adalah Habincaran yang pada waktu dulu dibuka oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari Hutagodang. Setiap perangkat adat yang ada di huta induk seperti kahanggi, mora dan anak boru sama kedudukannya dengan yang ada di huta anak. Perbedaannya hanya pada pelaksanaan adat. Huta anak tidak dapat memutuskan sendiri perkara atau segala hal yang berhubungan dengan adat tanpa persetujuan dari raja Panusunan yang ada di huta induk. Sayurmaincat adalah huta anak dari Singengu dan Tamiang pada awalnya merupakan huta anak dari desa Manambin. Pada perkembangan selanjutnya, Sayurmaincat dan Tamiang berkembang menjadi huta induk.

Eksplorasi tentang Manambin (hal.6-11) belum cukup mengungkap tentang Manambin yang sebenarnya. Eksplorasi hanya mengilustrasikan posisi bangunan utama dan pola letak hunian-hunian lainnya yang membentuk lingkaran imajiner. Pola estimasi ini telah banyak menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat Mandailing, karena menurut mereka pola permukiman mereka sama sekali tidak membentuk lingkaran imajiner seperti yang diilustrasikan oleh tim peneliti di buku tersebut. Namun demikian, ada fenomena menarik mengenai letak bangunan utama dan halamannya yang merupakan cikal bakal untuk berdirinya sebuah huta di Mandailing Julu. Menurut sejarahnya, fenomena lobu di Mandailing memiliki dua makna yang berbeda di dalam pemikiran masyarakat Mandailing. Pengertian pertama, lobu merupakan suatu lahan yang pertama kali dibuka dan ditemukan oleh pendiri kampung, ketika ia menemukan sebuah daerah baru di dekat sungai yang akan dikembangkan menjadi huta. Daerah yang dapat dijadikan sebagai lahan perkampungan merupakan tempat di dekat sungai yang disebut tapian na so marlinta, jalangan na so marongit yang artinya tapian atau tempat yang tidak didiami lintah, padang rumput yang tidak didiami nyamuk. Jelasnya, tempat tersebut merupakan tempat yang nyaman, sehat tanpa gangguan penyakit.

Lobu yang baru dibuka tersebut dijadikan ladang yang hanya dikunjungi sewaktu-waktu dan dibangun beberapa Sopo Ladang untuk tempat berteduh. Setelah kegiatan berladang dan bersawah selesai, maka penduduk tersebut meninggalkan lobu dan kembali ke kampung asalnya. Hal ini berlangsung terus sampai kampung asal mereka telah padat dan dibutuhkan daerah untuk kampung baru. Pada tahap ini, lobu mulai dikembangkan menjadi banjar dan pagaran. Ketika menjadi huta, maka daerah lobu yang pada awalnya dimanfaatkan sebagai ladang sementara dijadikan lokasi Alaman Bolak dengan bangunan-bangunannya.
Pengertian lobu yang kedua adalah daerah perkampungan asal yang telah berubah menjadi lahan pemakaman. Jika dilihat pengertian lobu yang kedua ini, maka tidak mungkin lobu tersebut menjadi tempat dibukanya Alaman Bolak, karena lahan pemakaman tidak sesuai bagi perletakan Alaman Bolak sebagai pusat aktivitas adat di huta. Pengertian lobu yang pertama lebih relevan untuk menjawab fenomena lokasi bangunan utama, Bagas Godang, Sopo Godang, Sopo Eme dan Alaman Bolak dalam huta yang seolah-olah telah lebih dulu di rencanakan sebelumnya. Pengertian lobu tersebut, selain berada pada lokasi yang berdekatan dengan sungai juga dimanfaatkan sebagai ladang yang merupakan tempat aktivitas kerja manusia untuk tetap melanjutkan kehidupannya.

Tentang pola linier dari kelompok-kelompok rumah yang dijelaskan dalam buku tersebut, sekali lagi tim ini menyimpulkan hanya berdasarkan pandangan pada saat ini berdasarkan penampakan visual semata, padahal terdapat proses didalamnya yang belum terekspos lebih dalam. Berdasarkan penelitian yang telah reviewer lakukan, jika ditinjau dari sejarahnya, pola rumah-rumah yang ada juga dapat diklasifikasikan berdasarkan status huta-nya. Selain itu, bangunan utama dan bangunan biasa juga memiliki pola tersendiri yang berbeda. Pola tata-bangunan biasa di huta induk terdiri atas 2 pola umum, yaitu (a) pola berhadapan dan berlapis, yaitu pola awal yang terbentuk ketika huta pertama kali dibuka. Pola ini juga merupakan pola dasar yang dapat membentuk pola-pola baru melalui pengulangan atau variasinya, sehingga pola baru yang terbentuk tidak mengubah pola lama. (b) pola berhadapan dan membelakangi, yaitu pola yang terbentuk karena kebutuhan tempat hunian baru dengan cara mengulangi pola awal yang sudah ada. Bangunan-bangunan utama membentuk pola tersendiri yang sangat berkaitan dengan posisi Alaman Bolak, yaitu Alaman Bolak di antara bangunan-bangunan utama yang saling berhadapan dan Alaman Bolak sebagai perangkai bangunan-bangunan utama yang berdampingan.

Pola tata-bangunan biasa di huta anak juga dibedakan antara bangunan biasa dan bangunan utama. Bangunan-bangunan biasa tersebut membentuk dua pola yaitu pola hunian yang saling berhadapan dan membentuk lapisan-lapisan. Lapisan yang terbentuk dari pola tersebut dapat berkembang dan membentuk pola baru yaitu pola berhadapan dan berlapis, pola searah dan berlapis serta pola berhadapan dan membelakangi, penjelasannya adalah sebagai berikut : (a) pola berhadapan dan berlapis, yaitu pola awal di lingkungan permukiman Mandailing yang telah ada sejak dulu ketika huta pertama kali dibuka. Pola ini juga merupakan pola dasar yang dapat membentuk pola-pola baru melalui pengulangan atau variasinya, sehingga pola baru yang terbentuk tidak mengubah pola lama; (b) pola searah dan berlapis, yaitu pola yang terbentuk karena kebutuhan hunian baru yang posisinya searah dengan bangunan yang lebih dulu ada didepannya. Terbentuknya hunian baru di daerah bagian belakang hunian yang awal dibangun menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan. Pola berlapis tersebut terbentuk dengan pertimbangan-pertimbangan kondisi alam setempat; (c) pola berhadapan dan membelakangi, yaitu pola yang terbentuk dari perulangan pola awal yang sudah ada sebelumnya. Bangunan-bangunan utama di desa-desa berkategori huta anak membentuk pola yang berkaitan dengan posisi Alaman Bolak yaitu Alaman Bolak di antara bangunan-bangunan utama yang saling berhadapan dan Alaman Bolak sebagai perangkai bangunan-bangunan utama yang berdampingan.

Hutagodang, seperti yang telah dijelaskan, sebelumnya merupakan sebuah huta anak dari Manambin. Hutagodang cepat berkembang menjadi huta induk karena mampu melewati semua syarat bagi berdirinya sebuah huta adat di Mandailing Julu

Ada hal menarik yang dijelaskan pada buku tersebut tentang Hutagodang, yaitu bahwa Hutagodang tidak mengenal adanya pagaran (hal-14). Hutagodang pada awalnya berada di perbukitan dan dengan alasan agar dekat dengan sungai, maka Hutagodang turun gunung dan dibangun di dekat sungai, di lokasinya yang sekarang. Sebenarnya, bukan tidak mengenal pagaran, tetapi Hutagodang justru tetap melalui proses seperti skema di atas di tempat asalnya, di atas bukit. Tim peneliti tidak membedakan antara yang awal dan yang baru, yang berubah dan yang tetap, sehingga muncullah justifikasi tentang tidak adanya pagaran. Perpindahan tersebut justru terjadi dalam rangka menyamakan posisi Hutagodang dengan huta-huta lainnya di Mandailing Julu, yaitu dekat dengan sungai. Menurut sejarahnya, perpindahan dilakukan karena lokasi awalnya yang terletak di atas bukit/ pegunungan telah padat dan sulit didapat air bersih. Selain itu, beberapa informasi aktual mengatakan bahwa, Manambin pun pada awalnya juga berada di pegunungan, tetapi karena sulitnya mendapatkan air di daerah pegunungan di Mandailing, maka Manambin pun pindah ke lokasinya yang sekarang, dekat dengan sumber air, yaitu sungai. Artinya, setiap kampung di Mandalailing Julu selalu mengalami proses pembentukan huta seperti skema di atas.
Mengenai Alaman Bolak, bangunan utama yang ada di dalamnya seperti Bagas Godang, Sopo Godang dan Sopo Eme serta pola tatanan massa bangunan lainnya di Hutagodang (hal.16-22), tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di Manambin. Pada dasarnya rumah-rumah saling berhadapan, berlapis dan membentuk kelompok-kelompok.


Kotanopan, secara administrasi merupakan pusat atau ibukota Mandailing Julu. Oleh karena itu, bangunan-bangunan yang terdapat di wilayah ini lebih modern dan beragam fungsinya. Gaya bangunan-bangunan yang terdapat di Kotanopan juga berbeda dengan yang terdapat di Manambin dan Hutagodang, karena lebih didominasi oleh arsitektur Kolonial Belanda. Oleh karena itu, penyandingan lebih tepat dilakukan antara Manambin dan Hutagodang sebagai sebuah huta yang telah melalui berbagai proses panjang sehingga dapat terus eksis sampai sekarang (hal. 27, hal. 47-51).
Jika dibandingkan dengan arsitektur Batak lainnya, seperti Toba, Karo dan Simalungun, arsitektur Mandailing memiliki lebih sedikit bangunan tradisional. Mandailing hanya memiliki 3 bangunan utama, sedangkan Toba, Karo dan Simalungun masing-masing memiliki 5 bangunan utama. Selain itu, desain Arsitektur Mandailing juga terlihat lebih sederhana dibandingkan lainnya. Hal ini semakin menegaskan perbedaan Mandailing dengan Batak Toba, Karo dan Simalungun (hal.52-58).
Selain isu strategi konservasi yang diusung oleh tim ini (hal.60-64), sebenarnya terdapat paparan menarik tentang perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara Manambin dan Hutagodang. Namun, jika dikaji lebih mendalam, perbedaannya hampir tidak ada, karena perbedaan tersebut terjadi karena proses dari sesuatu yang ada menjadi tidak ada. Ini mengindikasikan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan untuk dianggap sebagai sebuah perbedaan. Justru yang tertangkap secara visual adalah persamaan-persamaan di antara keduanya. Perbedaan yang berkaitan dengan rumah-rumahnya (dalam hal ini ruang-ruang di dalam, jenis atap, jumlah tiang serta ornamen) lebih mengarah pada hal-hal yang memang seharusnya berbeda, untuk menunjukkan prestise atau kedudukan orang-orang tertentu di dalam huta, dan hal ini wajar ditemukan dalam struktur tatanan tradisional di daerah manapun. Raja tentu harus berbeda dengan orang kebanyakan, baik dalam hal desain huniannya, sistem ruang di dalamnya, ornamen yang digunakan di rumahnya serta jenis atap yang digunakan. Oleh karena itu perbedaan yang ditinjau pada pembahasan ini lebih mengarah ke hal-hal yang lebih umum.

Ada sedikit perbedaan antara Manambin dan Hutagodang yang sebenarnya tidak mendasar tetapi hanya merupakan sesuatu yang berubah karena adanya proses. Apapun berbedaan yang terlihat dari keduanya menunjukkan bahwa terdapat satu alasan paling mendasar yang menyebabkan terjadinya bentukan-bentukan arsitektur yang sedemikian di Manambin dan Hutagodang, yaitu ketergantungan terhadap sumber air, yaitu sungai. Sungai menjadi alasan bagi dua huta tersebut untuk turun gunung dan mengembangkan permukimannya. Sungai juga menjadi sumber orientasi bagi masyarakat di dalam huta dalam melakukan segala aktifitasnya, dan hal ini dipertegas dengan penggunaan istilah jae (hilir)-julu(hulu). Sungai juga menjadi pedoman bagi mereka dalam mengembangkan permukiman dan fasilitasnya, yaitu linier pada garis sungai, di posisi manapun sungai tersebut berada.



PENUTUP
Arsitektur Mandailing Julu pada dasarnya dibentuk oleh adat dan budaya masyarakatnya. Permukiman sebagai salah satu bentuk arsitektur dan merupakan lingkungan buatan mempunyai bermacam-macam kegunaan, seperti melindungi manusia dan kegiatan-kegiatannya serta harta miliknya dari musuh-musuh berupa manusia dan hewan, dan dari kekuatan adikodrati. Fungsi lain juga untuk membuat tempat, menciptakan suatu kawasan aman, menekankan identitas sosial dan menunjukkan status dan sebagainya. Dengan demikian, bentuk arsitektur dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, jika manusia memilih pandangan yang lebih luas dan meninjau faktor-faktor sosial budaya, dalam arti seluas-luasnya, lebih penting dari iklim, teknologi, bahan-bahan dan ekonomi. Lingkungan buatan menyampaikan makna-makna, memberikan kerangka ruang dan waktu untuk tindakan manusia dan perilaku yang tepat.

Bentuk dan susunan yang terwujud sebagai suatu fenomena fisik memberikan peluang untuk menjadi beragam, sebagai akibat respon masyarakat dengan latar lingkungan fisik, sosial, kultural dan ekonomi yang beragam pula. Terbentuknya lingkungan permukiman dan bentuk arsitektur lainnya dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas manusia serta pengaruh seting atau rona lingkungan baik yang bersifat fisik maupun non-fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya.

Untuk dapat memahami arsitektur sebagai fenomena fisik tampaknya akan menjadi lebih jelas jika karakter kultur, pandangan dan tata nilai masyarakat setempat dapat digali dan ditemukan. Perbedaan atau persamaan suatu kultur dengan kultur lainnya dapat dinilai dan ditandai berdasarkan unsur-unsur universal dalam sistem kebudayaan yang terangkum dalam 3 wujud, yaitu :
1.Cultural System, yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan yang bersifat abstrak.
2.Social System, yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks aktifitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.Physical System, yaitu wujud kebudayaan benda-benda hasil karya manusia yang mempunyai sifat paling kongkrit, dapat diraba, diobservasi dan didokumentasikan atau disebut juga kebudayaan fisik.
Kebudayaan ideal mengatur pola aktifitas manusia yang pada akhirnya akan menghasilkan kebudayaan fisik dan sebaliknya kebudayaan fisik akan membentuk lingkungan tertentu yang akan mempengaruhi pola aktivitas manusia dan cara berfikirnya. Ketiga wujud kebudayaan tersebut memiliki urutan yang makin mewujud pada bentuk kongkrit dan teraga dimulai dari Cultural System menuju Social System dan akhirnya adalah Physical System.
Dengan demikian, sebagai wujud fisik, kebudayaan merupakan hasil dari kompleks gagasan yang tercermin dalam pola aktivitas masyarakatnya. Budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk, sedangkan faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik serta ekonomi merupakan faktor kedua.

Perubahan budaya berpengaruh terhadap rumah dan lingkungannya. Bentuk perubahan tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh tetapi tergantung pada kedudukan elemen rumah dan lingkungannya dalam sistem budaya (sebagai core atau peripheral elemen). Hal ini mengakibatkan ada elemen-elemen yang tidak berubah dan ada elemen yang berubah mengikuti perkembangan jaman. Sesuai dengan kondisinya, masyarakat tidak pernah diam, tetapi akan selalu berubah dan berkembang. Sesuatu yang dihasilkan manusia terbentuk karena latar belakang sosial budaya atau kondisi sosial manusianya. Tradisi perubahan yang terjadi selama ini karena masyarakat tertarik pada kesinambungan dan keotentikan, sehingga manusia cenderung mengabaikan perubahan dan ambiguitas. Sementara itu, adanya proses kesinambungan dan perubahan (continuity and change) adalah untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan baru dan kepentingan lama. Pada hakekatnya, kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia dalam suatu proses pembaharuan terus menerus terhadap tradisi yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Asitektur tidak hanya sekedar penyediaan wadah bagi aktivitas manusia tetapi juga menciptakan ruang-ruang yang memiliki makna sosial dan simbolik. Lingkungan hunian sebagai salah satu bentuk ruang arsitektur biasanya mencerminkan ide dan gaya hidup masyarakat penciptanya. Masyarakat menterjemahkan ruang-ruang yang berkaitan dengan fungsi publik dan ritual ke dalam lingkungan huniannya dengan cara yang berbeda dan membentuk variasi-variasi tertentu sehingga terbentuk pola yang beragam.

Pembahasan di atas menunjukkan bahwa semua gejala arsitektural yang terjadi di Manambin dan Hutagodang selalu ditandai dengan adanya unsur-unsur yang tetap dan berubah, yang berkesinambungan dan yang mengalami perubahan sebagai akibat dari upaya untuk menciptakan keseimbangan lingkungan. Elemen-elemen fisik yang tetap adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan aktifitas publik, seperti Alaman Bolak, kolam dan beberapa fasilitas huta, seperti area perkebunan, persawahan, mesjid dan musholla, makam serta sungai, sedangkan elemen-elemen fisik yang mengalami perubahan adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan aktifitas semipublik dan privat seperti, bangunan adat dan rumah-rumah biasa, pola tata-bangunan. Elemen-elemen non-fisik yang tetap adalah perangkat adat dan semua yang terkandung didalamnya, sedangkan elemen-elemen non-fisik yang berubah adalah tipologi huta.

Semua fenomena tersebut mengindikasikan adanya core (inti) dari arsitektur Mandailing Julu, baik secara fisik maupun non-fisik, dimana core tersebut merupakan elemen paling menentukan dalam terbentuknya tradisi bermukim di daerah ini. Core fisik tersebut adalah Alaman Bolak dan Sungai sedangkan core non-fisik adalah perangkat adat dengan semua bagian didalamnya. Kedua core ini senantiasa beriringan, tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya, membentuk satu kesatuan yang utuh.